180°|09

176 61 8
                                    


180 Degree

Malam yang indah tidak membuat seorang pria tenang. Bintang-bintang yang selalu menemaninya seolah menghilang. Kejadian di cafe tadi membuatnya mengingat sosok sang ibu. Sejak kecil dia kehilangan kasih sayang seorang Ibu, wanita itu pergi di saat dirinya baru berusia 8 tahun.

Ghaisan Haddad Hafuza, Isan benci nama itu. Nama itu diberikan ibunya, dan Isan benci ibunya. Yang Isan tahu ibunya pergi dengan selingkuhannya. Wanita itu rela meninggalkan dia dan ayahnya demi pria lain.

Itu sebabnya Isan tumbuh menjadi pria kasar. Ayahnya mendidiknya dengan keras, pengalaman di tinggal seorang wanita membuatnya membenci mereka. Isan tidak pernah ingin berurusan dengan wanita. Apalagi sampai jatuh cinta dengannya.

Tapi segalanya berubah saat sosok Icha hadir dalam hidupnya. Icha adalah satu-satunya perempuan yang melihatnya, melihat dan menerima kehadirannya. Icha adalah perempuan pertama yang mengobatinya. Isan kembali menggulung kaos panjang yang dia kenakan, terlihat luka-luka itu sudah mengering.

Bel sudah 10 menit yang lalu berbunyi. Tapi Isan masih setia menyandar di sebuah pohon. Mungkin dia akan bolos untuk Jam pelajaran terakhir ini. Tapi kehadiran seseorang cukup mengganggunya.

"Lo mau bolos?" ucap Isan masih setia memejamkan matanya.

Icha Yang masih berada di atas pohon kaget dengan ucapan Isan. Apa Isan bicara padanya?

"Iya. Lo anak IPS 2 kan?" Seolah bisa membaca pikiran Icha, dia kembali bersuara.

"Lo ngalangin jalan," ujar Icha, memperbaiki duduknya. Icha duduk dengan tegak kaki nya mengayun pelan di sana.

Isan tidak membalas ucapan Icha.
Percuma Icha turun, kalo pun Icha ke kelas pasti dia akan di hukum. Jadi Icha memilih duduk disini menunggu Isan pergi.

Isan membuka matanya saat sadar tak ada suara dari perempuan itu. Isan mendongak melihatnya, perempuan itu tengah asik memperhatikan burung-burung yang tengah membuat sarang.

Isan kemudian beranjak memanjat pohon itu, Icha bisa melihat apa yang di lakukan Isan.

"Geser," ucap Isan saat sampai di atas, Icha yang mendengar itu menggeser tubuhnya ke ujung dahan pohon itu.

Isan duduk tepat di sampingnya, saat Isan duduk Icha terus memperhatikan pergelangan tangan Isan.

"Jangan bilang siapapun!" ucap nya memperhatikan burung-burung itu membuat sarang.

Icha mengambil sehelai kain yang tersampai di salah satu ranting di sana. Kain itu bersih karena Icha yang membawanya tadi, niat nya ingin membantu burung-burung itu membuat sarang. Tapi saat ini Isan lebih membutuhkannya.

Perlahan Icha mengambil tangan Isan yang terdapat luka, dan membuka manset hitam yang menutupinya secara perlahan. Setelah kain hitam itu lepas, Icha meringis sendiri melihat luka yang masih basah itu. Kemudian dia meniup-niup secara perlahan, membuat sang empunya merasa nyaman. Setelah itu Icha melilit kan kain itu, Icha melakukannya dengan sangat telaten. Setelah selesai Icha memasang kembali manset hitam itu.

Perlakuan Icha tak luput dari pengawasan Isan, dia hanya diam menyaksikan perempuan di sampingnya ini. Ada kehangatan yang Isan rasakan, saat Icha mengobati lukanya.

"Jangan nyakitin diri sendiri," ucap Icha menatap kedua mata isan.

"Gak ada yang peduli juga gue sakit apa enggak." Isan memalingkan tatapannya.

"Kalo bukan lo sendiri yang peduli. Gak akan ada orang yang bakal peduli."

"Haha gue gak percaya." Isan tertawa hambar, mengingat tidak ada orang yang peduli padanya.

Vericha Aflyn ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang