"Bukan berubah, gue cuma kembali jadi diri sendiri aja."
🌃
Cerah atau tidaknya suatu hari terkadang bergantung pada seberapa bagus suasana hati manusia yang akan menilai. Seperti sekarang, meski diluar sana awan putih yang lebih menguasai langit sehingga tidak sama sekali memperlihatkan pancaran sinar matahari pagi, Pak Budi tetap menarik senyuman dan menganggap hari ini adalah hari yang sangat bagus dan cerah.
Pria itu menyandarkan punggungnya pada kursi sebelum meraih ponsel lain miliknya dari dalam laci. Ruang kerjanya yang benar-benar tertutup mempermudahnya menyelesaikan pekerjaan tanpa diketahui oleh orang luar. Pak Budi menempelkan ponsel itu ke telinga setelah panggilan pada Prima tersambung.
"Kerja bagus," puji pria itu begitu panggilannya diangkat, terdengar Prima terkekeh diseberang sana. "Sesuai janji, bayaran mu sudah saya transfer."
"Secepat itu? Apa suasana hatimu sedang sangat bagus sehingga mempercepat segala transaksi yang biasanya selalu terhambat —terutama kepada saya— itu?" Balas Prima yang seketika membuat Pak Budi mendengus sebab merasa tersindir.
"Hambatan saya adalah mereka, dan kamu telah berhasil menghentikan Nada. Jadi sekarang kamu tinggal menyingkirkan Ghara."
Pelan namun cukup jelas, Prima sempat berdecih sebelum menjawab perkataan Pak Budi, "Jangan naif, akan lebih sulit menyingkirkan anak itu. Mungkin saya berhasil membuatnya goyah kemarin, tetapi jika saya salah langkah sedikit saja Nada bisa saja kembali menyerang mu."
"Mereka saling kenal?" Dugaan yang diiyakan oleh lawan bicaranya itu membuat Pak Budi menaikkan kedua alis, tangannya bergerak mengangkat secangkir kopi dari atas meja dan menyeruputnya seolah tengah menikmati dongeng yang diceritakan oleh Prima.
"Awalnya saya menduga mereka saling menyukai tetapi terhalang oleh salah satu teman Nada. Tetapi saya baru mendapat info dari anak buahmu pagi ini bahwa Ghara ternyata mempunyai pacar." ucap Prima sesuai dengan kesimpulan didalam otaknya sendiri, "Entahlah ada drama apa diantara mereka."
"Memuakkan," komentar Pak Budi yang seketika membuat Prima tertawa sebab ia sempat berpikiran sama dengan kakaknya, "Manfaatkan keadaan itu, kalau perlu usik juga pacarnya. Saya tidak mau ada guru atau murid yang mencurigai saya lagi disekolah."
Terdengar Prima menjawab masih dengan dengan sisa-sisa tawanya, "Benar, saya benci melihatmu saat pencitraan."
"Diam dan lakukan saja pekerjaanmu dengan benar."
"Saya bekerja sesuai bayaran,"
Pak Budi menggeram, mulai jengkel dengan sikap Prima. Tetapi keduanya tetap adalah saudara satu darah yang tentu saja memiliki kesamaan. "Baik, tunggu saja bayaran mu akan berkali-kali lipat lebih banyak..."
Seolah sudah dapat menebak apa yang akan terjadi nanti, diseberang sana Prima menyeringai dengan penuh keyakinan.
"...saat kamu berhasil melenyapkan Ghara."
• • •
Sebuah motor berhenti tepat di depan pagar rumah gadis yang sudah berhari-hari hilang kabar itu. Si pemilik kendaraan melangkah turun seraya mengernyit menatap sekitarnya yang terasa lebih sepi dibanding saat terakhir kali ia datang ke tempat ini. Lisa memberanikan diri untuk membuka pagar dan berjalan mendekati rumah Nada.
Sebenarnya sejak beberapa hari yang lalu Lisa telah mencoba menghubungi Nada tetapi tak pernah diangkat, bahkan saat ia bertanya kepada Angkasa tentang keberadaan Nada cowok itu hanya menjawab 'tidak tahu' dengan lebih dingin dari biasanya. Lisa khawatir telah terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Girl
Teen Fiction[in a SLOW UPDATE phase, sorry] Nada Athalia. Gadis manis yang sudah dikenal oleh seluruh siswa SMA Merah Putih. Sifatnya yang tidak bisa diam, sering bolos, dan suka menghisap rokok ini membuatnya menjadi langganan masuk ruang BK. Namun keadaan ber...