"Gak dianggap itu sakit ternyata."
⬇️
Tuuuut...tuuuut nomor yang anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan, tunggu-
Sekali lagi pria itu menekan icon telepon pada salah satu nomor di kontak ponselnya. Suara yang sama seperti sebelumnya pun terdengar yang berarti panggilannya sampai pada nomor tujuan tetapi tidak diangkat. Prima mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada permukaan meja seraya menunggu. Ruang kerjanya yang terasa sempit sebab banyak kertas-kertas berceceran di lantai dan lemari itu sama sekali tidak membuat Prima merasa pengap.
"Halo?"
Prima menghentikan gerakan jari telunjuknya ketika suara itu terdengar, "Halo? Apa baik-baik saja disana?" Tentu saja ia menanyakan hal itu terlebih dahulu sebab sangat jelas terdengar di telepon suara teriakan yang ramai diiringi dengan gedoran pintu penuh emosi.
Seseorang di seberang sana terkekeh sinis, "Tidak, tapi saya menikmatinya."
Prima ikut terkekeh mendengar perkataan kakaknya. Ia sangat suka jika pria itu berkata dengan suara berat dan wajah sinisnya. "Apa lagi yang sekarang kamu lakukan?"
"Saya sudah beberapa bulan berada di posisi ini, tentu saja sekarang waktunya memberikan serangan pertama. Dan respon mereka sepertinya baik, sesuai dengan yang saya inginkan." Pak Budi menjawab dengan santainya dan Prima yang sudah sangat memahami rencana kakaknya itupun hanya menggeleng pelan.
"Bukankah itu terlalu kentara? Tentu saja respon mereka seperti itu jika kamu menaikkan biaya SPP sebesar 2x lipat secara tiba-tiba," Pria itu memindahkan ponsel yang awalnya berada di telinga kanan ke telinga kiri seraya menghela nafas. "Bahkan kamu belum genap satu semester menjadi kepala sekolah."
Pak Budi tertawa geli mendengar penuturan Prima yang terdengar kesal, pria ini sepertinya agak gila sebab di luar kantor kepala sekolah segerombolan murid-muridnya tengah berteriak meminta penjelasan seraya memukuli pintu tetapi ia masih duduk tenang sambil tertawa-tawa. "Tentu saja ini hanya gertakan, saya tidak sebodoh itu. Perlahan-lahan nanti, tidak akan ada yang menyadari bahwa kepala sekolah mereka telah mendapatkan banyak keuntungan."
Prima kembali menghela napas dan mengangkat kedua bahunya karena ia tidak peduli dengan rencana Pak Budi, "Terserah lah, saya menelpon bukan untuk berbicara soal ini."
"Lalu?"
"Apa pendapatmu jika saya mengadu domba anak-anak itu?"
Disana Pak Budi terdiam sesaat, punggung yang awalnya ia menempel pada sandaran kursi kini ia tegakkan. "Apa maksudmu? Mereka saling kenal?"
"Ya, saat kemarin saya menemui Galuh, anak itu bertanya tentang Ghara. Dan saya merasakan ada sesuatu yang tidak baik diantara keduanya." Salah satu sudut bibir Prima terangakat. "Akan lebih baik jika mereka malah saling menyerang bukannya menganggumu."
"Itu bukan perkara mudah, terserah kamu ingin melakukan apa. Tetapi jika hal itu benar-benar terjadi, bayaranmu akan jauh lebih tinggi."
Prima mengangguk-angguk seraya tersenyum lebar, "Oke, lihat saja nanti. Yang pasti sekarang kamu tau bagaimana cara membubarkan kerumunan massa yang kamu ciptakan itu."
Pak Budi berdecih, "Jangan meremehkan saya, lakukan saja pekerjaanmu."
• • •
"BUBAR WOI!!! Balik ke kelas masing-masing!" Beberapa anggota OSIS muncul diantara banyak murid yang tadinya menyemut di sekitaran kantor kepala sekolah, dan hal yang sama juga terjadi di di kantor guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Girl
Teen Fiction[in a SLOW UPDATE phase, sorry] Nada Athalia. Gadis manis yang sudah dikenal oleh seluruh siswa SMA Merah Putih. Sifatnya yang tidak bisa diam, sering bolos, dan suka menghisap rokok ini membuatnya menjadi langganan masuk ruang BK. Namun keadaan ber...