"Di dalam kisah apapun, gue gak akan pernah bisa jadi tokoh protagonis."
🌃
Sudah hampir sore tetapi Ghara masih berada di dalam kamarnya. Ruangan gelap yang lama-kelamaan menjadi pengap ini adalah tempat berteduh cowok itu selama beberapa bulan terakhir. Ghara bahkan takjub pada dirinya sendiri yang ternyata bisa hidup di lingkungan seperti ini.
Jendela seketika membawa banyak cahaya masuk ke ruangan itu ketika pemiliknya menyibak penghalang berupa gorden yang berwarna gelap disana. Ghara menjatuhkan tubuhnya pada kursi dan berhadapan langsung dengan jendela yang menunjukkan langit penuh awan itu. Pandangannya menerawang.
Meja yang menjadi pembatas antara dirinya dengan jendela terlihat penuh dengan berbagai buku dan kertas-kertas coretan, namun matanya tak sulit untuk menemukan buku catatan bersampul cokelat diantaranya. Buku biasa yang menjadi sangat berharga untuknya karena merupakan hadiah dari Agatha. Lagi-lagi kedua sudut bibirnya terangkat saat membuka halaman pertama buku itu.
Happy Birthday Ghara, semoga lo selalu inget muka gue kalo lagi baca tulisan ini :)
Hanya kalimat sesederhana itu namun mampu membuat pikirannya terisi penuh oleh satu sosok gadis. Ghara mendapatkan buku ini dari Agatha di hari ulang tahunnya. Karena pada saat itu ia dan gadis itu belum satu sekolah seperti sekarang, Agatha memberikan hadiah berupa buku kepada Ghara agar semua hal yang Ghara ingin katakan kepadanya bisa ditulis terlebih dahulu di buku itu.
Namun sampai sekarang tiap lembar buku itu tak tersentuh oleh setitik tinta pun. Ghara tak pernah menulis apapun disana sehingga buku itu hanya berisi oleh kalimat sederhana dari Agatha sendiri. Mungkin ia akan menuliskan sesuatu jika hal itu sangatlah penting sehingga harus ia sampaikan kepada Agatha suatu hari nanti.
Ghara meletakkan kembali buku itu dan kembali menyandarkan punggungnya pada kursi. Pandangannya kini tertumpu pada sekumpulan awan mendung yang kemudian menjatuhkan tetesan kecil air di jendela. Lamunan yang membawa ketenangan cukup berlangsung lama di ruangan itu, sampai hujan berubah semakin deras dan diiringi dengan kilatan di langit.
Sesuatu yang lain mendadak melintas di benak cowok itu, tangannya kemudian bergerak meraih ponsel yang menjadi sarana untuk melihat roomchat-nya dengan seseorang. Nada. Entah mengapa Ghara agak resah setelah tak mendapati gadis itu lagi di acara malam tadi. Belum lagi dengan keadaan dimana gadis itu hilang kabar secara tiba-tiba.
To : Nada
Nada, lo dmn?
Lo udah pulang duluan?
Kabarin gue kalo lo baik-baik aja
Read.Nada tidak membalas pesannya, dan hal itu otomatis membuat Ghara berpikir bahwa ada sesuatu yang terjadi pada malam itu. Setelah menghela nafas, cowok itu kembali meletakkan ponselnya dan bersandar pada kursi. Ia hanya berharap tidak ada campur tangan Prima didalam menghilangnya Nada, tentu saja ia harus selalu waspada pada pria licik yang sebenarnya adalah Pamannya itu.
Mengingat fakta bahwa Prima adalah bawahan Pak Budi seketika membuat Ghara berdecak. Sebab hal itu akan sangat menambah pekerjaannya.
Kebetulan yang sangat tepat, nama pria itu sekarang muncul di layar ponsel Ghara yang berdering itu. Memang sudah sejak tadi siang Prima terus menelponnya, dan hal itu cukup membuat cowok itu penasaran tentang apa yang tengah terjadi.
Panggilan itu ia jawab, Ghara mendekatkan ponselnya pada telinga dengan tatapan masih tertuju pada rintik hujan diluar jendela.
"Wah, saya kira telepon saya tidak akan pernah kamu angkat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Girl
Teen Fiction[in a SLOW UPDATE phase, sorry] Nada Athalia. Gadis manis yang sudah dikenal oleh seluruh siswa SMA Merah Putih. Sifatnya yang tidak bisa diam, sering bolos, dan suka menghisap rokok ini membuatnya menjadi langganan masuk ruang BK. Namun keadaan ber...