PART 48

1K 88 13
                                    

"Zaman sekarang istilah 'temen datang pas butuh doang' kayaknya udah manusiawi deh."

🌃


Langkah kaki yang sebenarnya pelan menjadi terdengar sangat jelas karena hening nya keadaan. Malam hari yang untungnya cukup cerah membuat cowok itu dengan bebas berkeliaran diluar. Galuh menjulurkan tangan kanannya dan menyentuh tembok disampingnya sepanjang perjalanan. Lebih tepatnya tembok kokoh yang mengelilingi rumahnya sendiri.

Tebak apa yang tengah dilakukan oleh Galuh sekarang? Merenung seraya berdebat dengan dirinya sendiri. Cowok itu dilanda dilema untuk memutuskan apakah lebih baik sekarang ia kembali pulang ke rumah dan pasrah jika dipindahkan sekolah oleh Ayahnya.

Sesaat ia merasa sudah tidak peduli dengan sekolahnya yang semakin tidak benar itu. Tetapi disisi lainnya entah kenapa ia merasa belum harus meninggalkan sekolah itu sekarang.

Langkah Galuh terhenti, tangannya yang menyentuh tembok dingin itu perlahan mengepal. Tatapan kosongnya menyiratkan bahwa ia sedang berpikir dengan keras. Tetapi untuk apa juga ia berpikir sekeras ini? Kepala cowok itu menegak, didalam hati ia memantapkan niat.

Galuh tak lagi punya alasan untuk kabur dari rumah. Rencananya dulu untuk menyakinkan Ayahnya dengan membuktikan bahwa dirinya bisa mengahadapi masalah Pak Budi bersama teman-temannya telah sirna, toh orang-orang yang sempat ia sebut teman itu sudah tidak peduli. 

Kaki cowok itu kembali bergerak, mendekati gerbang rumah dan berniat masuk tanpa sembunyi-sembunyi seperti yang sering ia lakukan sebelumnya. Galuh mempertegas tatapan dan menyiapkan diri untuk dicemooh atau dimaki Ayahnya sebentar lagi. Ia tak akan peduli jika sekolah yang dipimpin oleh Pak Budi itu akan benar-benar hancur.

Entah dari mana tiba-tiba angin dingin menerpa dan seolah meruntuhkan tekadnya yang sudah bulat. Langkah Galuh terhenti dan pandangannya meragu, angin dingin yang masih berkeliling disekitarnya membuat cowok itu spontan mendongak dan menatap langit gelap malam yang dihiasi oleh satu-dua bintang. Galuh menelan ludahnya, semesta seolah menyadarkannya dengan kenyataan bahwa ia memang belum siap pergi dari sekolah itu.

Galuh berdecih lalu mengalihkan pandangannya dari langit. Meski tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di rumah, Galuh membalikkan tubuhnya dan memilih bergerak menjauhi tempat berteduh orang tuanya itu. Tangannya mengusap rambut yang semakin berantakan dibuat angin. Ia bahkan bingung pada dirinya sendiri.

Jelas ia sangat membenci kejadian beberapa hari yang lalu, saat ia benar-benar terlepas dari lingkaran pertemanan yang seharusnya baik-baik saja jika ia tidak terbawa emosi secara berlebihan. Galuh berdecak, pikirannya semakin berantakan saat mengingat sikapnya hari itu. Mungkin perasaan tidak enak ini yang membuatnya ragu untuk meninggalkan semuanya.

Sialan, kan mereka yang mau ninggalin pertemanan itu, bukan salah gue. Dan gue gak harus ngemis bantuan sama mereka. Sesaat Galuh terdiam memikirkan lagi perkataan batinnya.

Helaan nafas terdengar berat dari mulut cowok itu. Seperti sebelumnya, Galuh berjalan di pinggiran jalan yang tak ramai dilewati. Berpikir keras sambil sesekali mendongak untuk menatap lampu jalan atau pohon-pohon besar nan tua yang banyak tumbuh. Sudah pernah ia katakan bukan, wilayah tempat tinggalnya tak seperti kota-kota besar, hanya jalan raya utama dan sekitarnya yang menampung banyak orang.

Ponsel disaku Galuh mendadak bergetar panjang, cowok itu spontan menghentikan langkah dan meraih ponsel yang menunjukkan nomor tak dikenal itu. Mengangkat panggilan itu, menempelkan ponselnya ke telinga, namun mulutnya tak mengucapkan sepatah katapun bahkan 'halo' pun tidak.

Fake GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang