Sebaik-baik kamu menyembunyikan kebohongan namun, pada akhirnya tetap kebohongan itu akan terungkap. Bukan itu masalahnya, masalahnya orang yang menganggap kamu adalah kepercayaannya terlalu kecewa untuk mengetahui itu. Itulah yang dialami Jilan.
Memang, lima hari berlalu kejadian itu semuanya terasa pahit. Mungkin, Natha, Manda, dan Vira juga diancam supaya tak menghubungi Jilan. Sekedar mengirim pesan saja, ketiganya seolah tak pernah menghubungi Jilan lagi.
Jilan merenung. Dibenci sahabat sendiri lebih sakit dibanding ditinggal si brengsek yang sudah melukai hatinya terlalu dalam. Andai saja, saat ini Jilan dihadapkan dengan dua pilihan, antara si brengsek dan sahabatnya di SMA Angkasa maka Jilan akan memilih sahabatnya. Sedalam apapun perasaannya, sahabat adalah hal terbaik.
"Jilan, lo kenapa?"
Lamunan Jilan buyar mendengar suara Rindu yang terdengar parau. Selama ini, Jilan masih belum tahu, seluk-beluk keluarga Rindu yang membuat gadis menjadi seperti sekarang, diam dan tak tersentuh. Kata orang disekolah ini, Rindu adalah gadis yang misteri, jarang, ralat bahkan tak ada yang mau berteman dengannya.
"Gue nggak pa-pa." Jilan menggeleng lantas tersenyum kearah Rindu yang dibalas anggukan oleh gadis itu. Jilan melirik ke seluruh penjuru kelas, kemana guru yang mengajar? "Bu Gita?" tanya Jilan tak melihat Wali Kelasnya itu.
"Bu Gita udah keluar dari tadi, makanya jangan melamun mulu," ucap Rindu terkekeh.
Saat dengan Jilan, Rindu merasa menjadi orang yang berbeda. Jilan, gadis itu hampir saja bisa membuka hatinya menjadi sosok Rindu yang dikenal banyak orang, tetapi itu dulu, bukan sekarang.
"Lo ke kantin?" tanya Jilan memasukkan sebuah buku catatan kedalam tasnya.
Rindu menggeleng. Ia mengeluarkan kotak bekal biasa untuk makan siang. Sama seperti biasa, makanan yang dibawa Rindu bukan makanan biasa, tetapi makanan mewah yang biasa dimakan di restoran-restoran mewah dengan harga yang selangit, bahkan Jilan saja tak tahu nama makanannya karena tak pernah memakannya, yang Jilan tau hanya kerupuk Keren, udah nikmat, murah lagi.
"Lo ke kantin?" tanya Rindu balik.
Jilan ragu, selama disini ia jarang ke kantin. "Nggak tahu, gue keluar dulu, ya." Jilan melangkah keluar dengen langkah cepat.
Didepan pintu kelasnya, Jilan berdiri menatap siswa/siswi yang berlalu lalang. Betapa senangnya Jilan selama lima hari ini terbebas dari hukuman cuci motor dari anak-anak Pekar. Hukuman Axel belum berakhir, masih dua hari lagi. Itu artinya, Jilan harus mencuci lagi esoknya, tapi tak apa yang penting bisa happy dua hari lagi.
"Jilan."
Jilan menoleh kesamping, di sana ada kembarannya beserta... sahabat lemotnya-Zara. Kapan sahabat lemot Jinan pindah kesini? Batin Jilan.
"Lo kok?" tanya Jilan menunjuk Zara.
"Iya, Zara udah pindah tahu! Jilan tahu nggak Papa sama Mama Zara ternyata izinin Zara buat pindah terus ketemu lagi sama Jinan nya Zara." Zara memeluk Jilan dari samping.
Jilan berdecak kesal. "Ngapain kalian kesini?" tanya Jilan jengah.
"Ngajakin kamu ke kantin, yuk!" Jinan menarik tangan Jilan dan Zara menuju kantin bersama.
Sampainya di kantin, Jilan hanya duduk. Tak berniat sama sekali untuk memesan makanan karena nantinya, Jinan akan khawatir padanya kenapa nggak pesan makan dan akhirnya, uang Jinan akan keluar untuk membelikan Jilan makan. Itulah asyiknya punya kembaran! Saling berbagi, tetapi itu hanya berlaku bagi Jinan yang baik, unyu, gemes.
"Kamu nggak pesan makan?"
Tuh kan, kalau orang cantik rezekinya nomplok. Baru juga dipikirin udah ditanya sama kakak kembaran yang, cantik banget. "Nggak punya uang," balas Jilan cuek padahal kantongnya penuh.
![](https://img.wattpad.com/cover/251565503-288-k922166.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
JugendliteraturJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...