Tak henti-hentinya Jilan bersyukur sadari tadi. Akhirnya, penantiannya telah selesai. Natha, gadis itu kini sudah resmi pindah ke Kartika. Hal itu membuat Jilan senang bukan main, walaupun ia dan Natha berada pada kelas yang berbeda, tetapi mulai sekarang Jilan sudah nggak sendiri lagi, ada Natha disini.
Jilan memandang wajah Natha dengan antusias, Natha hutang penjelasan pada Jilan, mengapa dia tak pernah menghubungi Jilan lagi semenjak kejadian tempo lalu bersama Dio, apakah Natha diancam oleh Dio?
"Apwaw sihhh?" Natha mendengus kesal menatap Jilan yang sedari tadi memandangnya yang sedang mengunyah soto dicampur gorengan.
Apakah saat ini Natha sedang menjelma sebagai chef yang bertugas mencicipi masakan dari peserta nya? dan peserta itu adalah Jilan yang sedari tadi seperti ingin menunggu Natha mengomentari masakannya saja.
"Nat, jelasin cepat," sentak Jilan menggoyangkan lengan Natha agar segera menjelaskan semuanya supaya pikiran ini tak terus merajalela dalam pikiran Jilan.
"Jadi..." Natha memasukkan sendok yang berisi kuah soto kedalam mulutnya. "Jadi, Dio itu nggak ngelarang kita kok," ucap Natha yang kembali menyesap kuah soto.
"Terus?" tanya Jinan heran.
"Ya gitu lah. Cuma, dia itu umum-in ke seluruh siswa kalau lo pindah ke Kartika," ujar Natha.
Kalau seperti itu, lalu apakah Natha mengatakan bahwa dia akan pindah kesini? atau malah seperti Jilan yang sembunyi. "Lo pindah kesini semua orang tahu?" tanya Jilan.
Natha mengangguk. "Gue sendiri yang bilang pas mau pindah, dibelakang My Dad sih, makanya nggak diamuk," ujar Natha terkekeh.
"Njir, enak banget ya soto disini," puji Natha memegang perutnya yang kekenyangan.
"Gue yang udah sekolah disini, tapi nggak pernah makan cuma bisa nyimak."
Natha menatap Jilan heran, lalu makan apa sahabatnya ini selama ini? "Terus lo makan apa dong pas istirahat? bolos?" tanya Natha menaikkan alisnya.
"Gue nggak pernah ke kantin. Bukan nggak pernah sih, tapi jarang. Nggak punya teman. Lo tahu nggak? Dikelas gue ada cewek yang pendiam banget terus datar plus dingin gitu. Dia orangnya susah di ajak kompromi. Tapi, baik sih kalau kita udah dekat," ucap Jilan menceritakan tentang teman sebangku nya itu.
"Namanya?"
"Rindu."
Sesaat Natha terdiam, Rindu? Oh, bukan. Yang namanya Rindu banyak di dunia ini. Mana mungkin Rindu yang dimaksud Jilan adalah Rindu yang ada di pikirannya. Tak mungkin, setahunya Rindu yang ia pikirkan tak berada disini, tetapi diluar kota setelah kejadian itu. Tak ingin ambil pusing karena Natha yakin bahwa Rindu yang Jilan masuk, Ia pun hanya angguk-angguk paham atas ucapan Jilan tadi, toh, Ia belum bertemu dengan Rindu itu.
***
"Andai aja gue punya motor, mobil, pesawat, rumah gede seratus tingkat, apartemen supaya bisa kabur dari rumah, hotel, uh, mantap. Tapi sayang cuma hahalu." Jilan terus bergumam tak jelas, tangannya asik menyabuni motor dan tanganya satu lagi menyiram motor tersebut dengan air.
Masih dengan khayalan yang sama, Jilan ingin punya itu semua, tapi sadar, ia siapa. Lagipula Jilan tak ingin memaksakan kehendak nya apalagi meminta ini-itu pada papanya. Jilan mengerti keadaan orang tuanya, keadaan mereka yang hanya pas-pasan membuat Jilan sadar akan hal itu. Jika diantara Jinan, Jilan dan Juna ingin membeli atau menginginkan sesuatu maka mereka harus menabung dulu.
Jika mereka mempunyai uang yang banyak, maka mamanya akan membiarkan mereka belanja apapun, tapi jangan berlebihan. Cukup sebutuh nya saja. Contohnya Jilan, ia sungguh berbeda dari Jinan dan Juna yang punya banyak tabungan untuk sekolah di masa depan. Sedangkan Jilan? Jangankan tabungan, uang seratus ribu saja Jilan tak punya. Dalam hati Jilan berpikir, buat apa ia menabung di masa kini kalau sekarang saja niatnya untuk melanjutkan sekolah sudah pupus ditengah jalan.

KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
Teen FictionJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...