Jilan duduk termenung dimeja makan rumahnya, hari ini semua penghuni rumah sedang keluar. Palingan sebentar lagi pulang. Jilan sengaja tak ikut karena malas satu mobil dengan papanya. Acara ini cukup penting, tetapi tak penting sama sekali bagi Jilan karena ini adalah acara kenaikan jabatan papanya. Jilan tahu, meskipun nanti papanya sudah naik jabatan otomatis gaji yang diterimanya juga naik. Entah apa yang merasuki Jilan sehingga ia yakin bahwa papanya tak akan memberikannya uang tambahan nantinya.
Jilan menatap air putih yang didalam gelas. Tenang, itulah yang Jilan lihat. Kapan hidupnya bisa setenang air? Bahkan hubungannya dengan papanya masih belum baikan setelah satu bulan lamanya. Selama itu juga, Jilan sudah tak peduli dengan peraturan yang ada. Hampir seratus kali Ochi menasehatinya, tetapi Jilan masih seperti Jilan yang sama.
Sungguh, ini bukan ekspetasi pikiran Jilan. Papanya marah, hidupnya bebas seperti yang diinginkan, uang jajan dapat apalagi sudah ada tambahan sepuluh ribu sehari hasil dari cuci motor Pekar. Sepuluh ribu per hari? Ya, itu saja sudah membuat Jilan bangga akan dirinya yang bisa menghasilkan uang. Ternyata begini rasanya mencari uang dari 0.
"Lapar!" Jilan memegang perutnya. Sedari pulang sekolah ia belum makan sama sekali dikarena cuma ada telor dadar dirumahnya. Bibi hari ini libur karena anaknya sedang sakit dan terpaksalah makanan yang apa adanya. "Makan apa, ya?" tanya Jilan.
Merasa sangat lapar, Jilan berjalan menuju lemari gantung dapurnya guna menemukan sesuatu yang bisa dikonsumsi, mi misalnya?
"Mi ada? Masak mi aja deh. Mayan ganjal lapar sebelum dengkul bergoyang."
"Aduh, Kampret!! Astagfirullah, nih mulut nggak ada remnya apa?" Jilan bergumam seraya menampar mulutnya setelah berkata kotor tadi. "Harum banget. Enak nggak, ya? Kalau Jilan masak mah nggak pernah enak. Eh, mulut gue selalu ngomong yang benar tentang diri gue sendiri," ujar Jilan terkekeh lalu memindahkan mi yang di panci kedalam mangkok.
"Huekk!! Enak-enak manjah. Nggak papa. Penunda lapar. Makan....makan....makan. Ahh, nggak seru ih. Nggak habis mah. Coba aja kalau Jinan yang masak. Ludes ini mah. Nggak papa suami gue kan nanti makannya nggak kevel kayak gini. Palingan makan angin doang. Yaiyalah, suami halu."
"Lan?"
"Huekkk." Mi yang dasarnya udah nggak enak di mulut Jilan langsung menyambar dari mulutnya ke lantai. Jilan lantas kaget dengan orang yang berada dibelakangnya ini. "Astagfirullah, Mama. Aku kaget!" ujar Jilan mengerucutkan bibirnya kesal.
"Iya, maaf. Kamu ngapain?" tanya Ochi mengelus pelan rambut hitam milik Jilan.
"Mi," jawab Jilan sekenanya.
"Hm, Lan?"
"Apa, Ma?"
"Kamu dipanggil Papa ke ruang kerja," ujar Ochi pelan tetapi Jilan masih bisa mendengarnya.
Untuk apa? Untuk apa Papanya memanggilnya? Mau membandingkannya dengan Jinan? "Untuk apa?" tanya Jilan yang kini pandangannya lurus ke depan.
"Kamu mau, ya? Harus mau, ayo Mama temenin." Ochi menarik tangan Jilan tetapi gak ada pergerakan dari Jilan.
Sesaat Ochi menatap Jilan penuh tanda tanya sedangkan Jilan hanya menggeleng. Ochi tak mengerti apa maksud dari gelengan itu. "Jilan nggak mau, Ma," tolak Jilan halus seraya melepaskan tangan Ochi yang menarik tangan nya.
"Mau ya, Nak. Kalau kamu marah sama Papa anggap aja ini demi Mama," mohon Ochi.
"Emangnya Papa mau ngomong apa?" tanya Jilan heran nggak biasanya Papanya memanggil dirinya ke ruang kerja.
Biasanya Sofyan akan memanggil mereka ke ruang kerja hanya karena ada masalah serius yang harus diselesaikan secara tatap muka langsung berhadapan dan itu hanya orang yang bersangkutan boleh masuk kedalam ruangan bahkan Ochi saja tak diberi izin masuk. Jilan punya salah? Banyak. Contohnya saja selalu pulang malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
Teen FictionJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...