Terakhir kalinya Jilan memandang keindahan pagi dari atas balkon kamar Natha. Jilan tersenyum getir, kaos oblong dan celana jeans serta sepatu sneakers hitam yang melekat pada badannya, mungkin ini adalah terakhir kali ia ada disini? Mungkin saja jika ego Jilan tetap tak berdamai dengan pikiran dan hatinya.
Sekarang sudah pukul delapan pagi, tiga jam lagi Jilan akan pergi meninggalkan kota kelahirannya negara orang yang akan memberikan kehidupan yang berbeda dengan Jinan nantinya. Natha sudah memesan tiket pesawat yang akan berangkat tercepat untuk Jilan, dan kini tiga jam lagi Jilan akan berangkat.
Jilan menunggu Natha selesai berkemas. Natha berjanji akan menemani Jilan untuk mengambil barang-barang penting Jilan yang berada di rumah nya. Manda dan Vira? Mereka akan datang disaat Jilan sudah berada di bandara saja, katanya mereka ada ulangan pagi ini, tumben rajin!
Jilan merasakan ada yang menepuk bahunya. Natha, cewek itu tersenyum kearah Jilan, tepatnya senyum manis akhir dari Natha untuk Jilan, sahabatnya yang selalu setia menemani Natha di masa SMP hingga kini. Selama ini, Natha belum pernah menemukan sahabat yang setia dan menerima nya apa adanya, sesuai dengan realita bayangan nya selama ini. Apalagi Natha orangnya yang receh, paling nggak suka jika ada omongannya yang diambil hati oleh orang lain, ceplas-ceplos.
"Lo jangan sedih." Natha langsung memeluk Jilan erat. Sungguh, melepaskan sahabatnya adalah hal terberat jika dibandingkan dengan melepas kepergian orang tuanya keluar kota.
"Mana ada gue sedih. Gue seneng kok," ucap Jilan memaksakan senyum.
Natha mendelik kesal. "Lo senang gue ditinggal gitu?" tanyanya mengerucutkan bibir.
Jilan terkekeh. Hari-hari yang biasa ia lewati dengan ocehan, omelan dan nasehat dari Natha akan berubah dan hilang. Satu yang harus Jilan lakukan, berusaha sendiri anggap Natha, Vira dan Manda ada di sisi dan Axel? Ada di hati Jilan.
"Bukan gitu, Nath. Gue nggak akan ninggalin lo kok. Karena lo ada tempat khususnya di hati gue," kata Jilan tertawa membuat Natha kesal, seperti becanda saja.
"Ya. Yuk kita ke rumah lo. Si tua lampir udah pergi ke rumah sakit nggak, ya?" tanya Natha mematuti.
Jilan mengangkat bahunya. Malas jika membahas si tua bangka itu. Jilan kembali menatap ke arah depan. Setelah dirasa cukup, Jilan menarik nafas panjang lalu menghembuskan nya secara perlahan. Setelah semuanya kembali normal, Jilan menatap Natha dengan senyumannya lalu membawa koper yang Natha pinjamkan untuk Jilan pakai.
Seakan tahu dengan arti senyuman Jilan, Natha mengikuti langkah Jilan menuju lantai bawah dimana mereka akan pergi ke rumah Jilan menggunakan mobil milik Natha. Jilan mengambil alih tempat duduk pada kursi penumpang, menyuruh Natha untuk menyetir.
Dalam perjalanan, keadaan mobil didominasi dengan keheningan. Baik Natha hanya fokus menyetir sesekali melirik pada Jilan yang menoleh keluar kaca mobil. Padangan Jilan sendu, isi hatinya seluruh tertuju pada keberangkatannya nanti, sekitar dua setengah jam lagi.
Saat ini, mereka sudah ada dihalaman rumah Jilan. Pintu tertutup rapat dan keadaan rumah yang hening. Jilan mencoba membuka pintu rumahnya itu, meski ia tau kalau kunci rumah dibawa Mamanya.
"Pintu rumah gue ke kunci. Gue manjat aja lewat pohon mangga," ucap Jilan gelisah.
Natha hanya mengangguk. "Emang lo bisa manjat?"
Jilan terbahak. "Jilan? Jilan nggak bisa manjat? Bukan Jilan namanya," ujar Jilan sombong.
Melirik sekilas pada pohon mangga, tinggi. Itulah yang dapat di deskripsikan Natha. "Tinggi, Lan. Hati-hati," ucap Natha seraya memegang pinggul Jilan yang sudah beraksi memanjat pohon.
![](https://img.wattpad.com/cover/251565503-288-k922166.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
Teen FictionJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...