Hayyyo lah guys di vote jangan pelit-pelit🤣
Dari 300 yg baca yg nge-vote cuma 10.
Astaga
Please, ayo budayakan vote biar aku makin semangat💪***
Gerbang tertutup, pintu besar cokelat itu pun juga tertutup. Keringat dingin mulai bercucuran di sekujur tubuhnya takut jika ada orang rumah yang memergokinya pulang lewat dari jam sepuluh malam padahal ia hanya pulang belajar kelompok dari rumah temannya.
Saat ini, Jilan Agatha atau biasa dipanggil Jilan tengah menatap pagar menjulang pembatas jalan dan pekarangan rumahnya. Bisa dilihat dari luar pagar tempat Jilan berdiri bahwa pintu cokelat besar itu sudah tertutup rapat yang artinya seisi rumah sudah beristirahat dengan nyaman.
Jilan berdecak kesal, bayangkan saja ini baru pukul sepuluh malam, terlihat jelas sekali bahwa rumahnya ini adalah rumah tak berpenghuni padahal makhluk didalamnya cukup banyak. Jilan mengambil handphonenya dari dalam tas hitam miliknya.
Segera Jilan menghubungi seseorang untuk membawanya masuk kedalam rumah itu. Rumahnya bukan tergolong rumah mewah, hanya rumah sederhana dengan dua lantai dasar. Jilan menengadah keatas sana dimana Jinan Agatha-sang kembaran pasti sudah tidur dengan nyaman.
"Angkat, Jinan." Jilan bergumam pelan seraya mengulangi panggilannya pada Jinan.
Tak ada jalan lain, hampir dua puluh kali Jilan memanggil Jinan lewat telepon, tetapi kembaran nya itu seolah tuli dan tak mengangkat satupun panggilan Jilan sedari tadi.
Bukan tak berbunyi, tetapi mungkin Jinan yang tuli hingga tak mendengar nada dering telepon nya sendiri padahal dapat dipastikan bahwa hpnya dia letakkan di kasur di samping bantal didekat telinganya. Jilan mulai bergerak gelisah, matanya sudah bergerak ke sana-kemari, tak lupa dengan kaki yang digoyangkan menjadi ciri khasnya ketika sedang risau.
"Arjuna." Arjuna atau Juna, adalah adik Jilan yang yang umurnya hanya berbeda satu tahun lima bulan dibawahnya.
Ide yang cemerlang, Jilan yakin bahwa bahwa jam segini Juna belum tidur dan malah keasyikan main game di handphone nya. Jilan dan Juna bisa di katakan sebelas-dua belas sifatnya, diantara mereka yang penurut hanyalah Jinan. Meskipun mama dan papanya sudah sering melarang mereka ini-itu tetap saja Jilan dan Juna seolah tak mendengarkannya dan tetap melakukan kesalahan yang sama setiap harinya.
"Juna, angkat dong," gumam Jilan menggigit bibirnya gelisah.
"Halo?" sapa Juna diseberang sana.
"JUNA!!" Jilan berteriak kegirangan.
Terdengar dari sana decakan khas dari Juna, Jilan tahu saat ini pasti adiknya itu sedang main game. "Bukain Kakak pintu!"
"Nggak." Terdengar ketus memang, tetapi bukan Jilan namanya jika tak bisa membujuk Jinan ataupun Juna untuk membukakannya pintu.
"Please, kamu kok tega sama kakak kamu yang cantik jelita bin unyu-unyu enyes ini?"
"Ck, iya gue keluar. Ganggu aja." Juna memutuskan panggilan sepihak.
Jilan melompat-lompat kesenangan, malam ini dirinya masih selamat. Semoga saja papa dan mamanya tak bangun dimalam ini dan lagi-lagi keadaan masih berpihak kepadanya. Bisa Jilan lihat di sana Juna tengah berjalan kearahnya lalu membuka pagar dengan pelan.
Juna menatap Jilan dengan kesal, menganggu saja pikirnya. "Kakak ngapain sih pulangnya malam banget, Mama marah loh," ujar Juna.
Mata Jilan membola sempurna, benarkah mamanya marah? mencemaskan nya? atau lelah dan jengah dengan sifat dan kelakuannya yang selalu seperti ini setiap hari? oh, maafkan Jilan Mama, batin Jilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
Teen FictionJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...