Di atas kasur, Jilan terduduk seraya merenung memikirkan semuanya. Semuanya terjadi dan mengalir begitu saja. Harusnya Jilan sudah mempersiapkan diri sebelum bertemu dengan mamanya Axel, jika saja itu terjadi maka Jilan tak akan seperti ini.
Di liriknya Jinan yang sudah tertidur namun matanya masih seperti mengerjap seperti orang yang belum tertidur saja. Jilan belum ada niatan untuk tidur dengan kasur lipat hanya begini saja dulu, sampai Jilan benar-benar letih.
Ujian dalam hubungan. Ya, ini ujian. Sebelumnya Jilan belum pernah di hadapkan dengan hal seperti ini. Hubungan? Axel saja belum meresmikan. Jilan harus apa? Mau lari? Selingkuh? Tak bakalan bisa karena hatinya hanya untuk Axel.
"Lan?"
Jilan terperanjat kaget mendengar panggilan dari Jinan. Tuh kan benar, kembarannya itu pintar drama. Gayanya sudah tertidur, tetapi malah asik ngintip Jilan yang sedang merenung.
Jika nanti mamanya Axel memilih Jinan, Jilan akan merelakan. Jilan rela melihat Axel bersama Jinan, asalkan Jinan bahagia. Untuk Jinan, mulai sekarang Jilan yang mengalah. Sudah cukup kakaknya itu mengalah untuk segalanya, kini Jilan lah yang mengalah.
"Kenapa?" tanya Jilan pelan menatap kakaknya itu dari atas sedangkan Jinan sedang berbaring menatap Jilan juga.
"Kamu udah mau pindah, ya? Nunggu aku tidur aja, kan? Biar aku aja yang pindah. Sekarang biar aku yang dibawah kamu di atas."
Jilan hanya diam menatap Jinan yang membawa satu bantal dan satu guling dikedua tangannya. Tangannya bergerak menuntun Jinan agar berganti untuk mengeluarkan kasur lipat dari bawah kasur.
"Lo nggak usah pindah. Nanti lo sakit, gue yang dimarahin," ujar Jilan berpindah tempat kebawah.
Jinan menggeleng. Baginya ini tak adil. Dan kali ini biar Jinan yang di bawah. "Kamu aja yang di atas aku dibawah."
"Nggak usah, kita tidur berdua aja di kasur," ucap Jilan sedikit nggak yakin.
Jinan menatap Jilan sesaat. Ia tahu bahwa ini hanyalah akal-akalan Jilan supaya Jinan tetap tidur di kasur. "Nggak. Biarin aku yang tidur dibawah," kata Jinan kekeuh.
Kesal, sudah baik malah minta yang lain. Jilan hanya pasrah lalu membaringkan kepalan pada bantal menghadap jendela kamar. Malam ini, hujan rintik-rintik. Dilihat dari sini keadaan malam sudah hitam pekat mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
Jilan membalikkan badannya menghadap Jinan yang sudah tertidur membelakanginya. Jilan tahu Jinan belum tertidur dilihat dari gerak-gerik kakinya yang gelisah.
"Nan, pindah sini!" ujar Jilan nggak tega melihat Jinan yang tidur meringkuk apalagi nanti jika hujan turun pasti sangat dingin.
Tetapi, berbeda dengan dirinya. Jika Jilan yang tertidur dibawah tak apalah, toh, Jilan memiliki fisik yang kuat tak seperti Jinan. Jinan saja jika hujan akan akan flu serta hidung yang memerah namun, tidak dengan Jilan, mau hujan badai sekalipun ia hujan-hujanan tak akan berpengaruh apa-apa pada tubuhnya.
"Kamu aja... hiks."
Tuh kan, belum juga dicekik, ups di apa-apain udah nangis. Jilan menghela nafas, beginilah punya kembaran yang sensitif kayak ibu hamil. Sudah besar tetap saja menangis nya nggak pernah hilang.
"Nan, jangan nangis deh. Kita udah besar, bentar lagi udah lulus. Nggak perlu nangis-nangis kayak gini. Masa lo kalah sama Juna, umur Juna aja belum sampai enam belas, lah kita udah tujuh belas lebih." Jilan mencoba merayu meskipun contohnya Juna, tapi usaha Jilan tak akan sia-sia karena ini perumpamaan umur.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
Teen FictionJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...