Semenjak kejadian bertemu Nela seminggu lalu, Jinan dan Nela semakin dekat. Nela pun sering menelepon Jinan menanyai kabarnya bahkan meminta untuk mempertemukan Jinan dengan anaknya yang belum Jinan ketahui bentuknya, bentuknya pasti seperti manusia, maksudnya bentuk wajahnya.
Malam ini ditemani angin malam, Jinan duduk di balkon kamarnya sendirian. Seminggu kemarin, waktu Jilan pamit ingin pergi, tapi alhamdulillah nya cewek itu masih pulang dan sakitnya bagi Jinan, kembaran nya itu pulang diantar Axel, cowok yang ia sukai diam-diam.
Hembusan angin yang meniup rambutnya serta hawa dingin malam ini nggak jadi penghalang bagi Jinan untuk memasuki kamarnya. Ia juga tau bahwa besok sekolah, tetapi matanya nggak bisa diajak kompromi untuk tidur.
"Nan...."
Menoleh kebelakang nya dimana ada Ochi yang membawa segelas susu cokelat untuknya. Jinan menerima susu itu dengan senyuman lalu meminumnya hingga tersisa setengah.
"Mama kok belum tidur?" tanya Jinan.
"Harusnya Mama yang nanya. Kenapa kamu belum tidur? Ini udah malam, besok sekolah juga lho. Nggak baik begadang," ujar Ochi mengelus rambut Jinan.
Jinan menggeleng, ia bukan mau begadang. Salahkan saja matanya yang tak bisa ketutup di kasur mau tidur. "Jinan nggak bisa tidur, Ma," ucap Jinan menatap Ochi. Mungkin dengan bercerita ke Ochi bisa membuat kantuk datang kepadanya.
"Kenapa nggak bisa tidur? Biasanya jam segini waktu tidur kamu,"
"Jilan masih marahan sama Papa? Dia udah tidur, Ma?" tanya Jinan mengingat kembarannya itu.
Ochi mengangguk lesu, mengingat anaknya itu masih belum berbaikan semenjak kejadian tempo lalu. Keduanya yang sama-sama egois, tidak ingin mengalah menjadi salah satu faktor yang membuat Ochi sulit untuk menyatukan keduanya. Kemarin, Ochi sudah bilang pada suaminya untuk mengalah, namun dengan keras, Sofyan menolaknya dan mengatakan bahwa dia tak pantas untuk meminta maaf pada anaknya sendiri. Toh, katanya itu salah Jilan sendiri.
Tak jauh beda dari Sofyan, Jilan sama-sama kerasnya. Selama Ochi menasehatinya dia selalu berkata bahwa Sofyan lah yang salah disini. Dia pun kekeuh berkata, "Kalau Papa tahu aku pulang malam kenapa nggak langsung ditegur pas malamnya? Kenapa malah didiemin? Supaya aku makin ngelunjak gitu? Itu sama aja Papa nggak perhatian sama aku". Ochi sudah tak bisa menasehati dua orang ayah-anak itu. Segala cara sudah Ochi lakukan seminggu ini agar mereka berbaikan.
Lagipula, menurut Ochi disini, tak ada yang bisa disalahkan. Bahkan sekarang, Jilan setiap pergi dan pulang sekolah tak naik mobil bersama Juna dan Jinan lagi. Dia diantar jemput oleh Natha dan terkadang oleh Axel. Jilan juga begitu, sudah dikasih nasehat malah ngelunjak, harusnya dia bisa menerima aturan yang diberikan Ochi dan Sofyan pada mereka bertiga.
Selama menikah, Ochi baru beberapa kali melihat wajah suaminya yang benar-benar marah pada anak-anaknya. Ochi tahu, jika dulu Sofyan selalu menasehati anak-anaknya dengan lembut tetapi tegas, tapi sekarang sudah pakai emosi yang tidak terkontrol. Wajar bukan? Jilan saja seperti orang yang tak bersalah sama sekali.
"Ma?" panggil Jinan pelan sembari mengulum bibirnya.
"Kenapa?" tanya Ochi balas tersenyum.
"Kata Zara, Jinan ada suka sama orang, Ma."
Ochi mendongak, menatap lekat mata anak sulungnya itu. Kok kata Zara? Bukankah yang mengalaminya adalah Jinan? Ochi sungguh heran dengan anaknya ini. Yang mengalami Jinan, tetapi yang mengatakan Zara.
"Kok kata Zara? Kan yang suka kamu," kekeh Ochi bermaksud menggoda anaknya.
Jinan mengerjap malu. "Setiap aku dekat sama dia, badan aku bergetar terus jantung berdetak nya kencang banget, Ma. Apa ini cinta?" Jinan kembali menatap Ochi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
Teen FictionJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...