PILIHAN

2.6K 245 11
                                    

Bagi Jilan menikmati angin malam lebih sejuk dari pada baringan dikamar melihat orang berduaan mesra-mesraan. Axel belum juga pulang, kondisi Jinan juga tak ada perkembangan. Mungkin bagi sebagian orang berpendapat bahwa Jilan tak peduli pada Jinan. Katakan saja, kalau faktanya saja salah.

Bukannya apa-apa, Jilan tak kuat terus-terusan didalam kamar. Melihat semua perhatian Axel tertuju pada Jinan. Jilan benar-benar tak kuat. Melihatnya saja dari jauh sudah sakit apalagi dari dekat, didepan mata.

Sudah pernah Jilan katakan bahwa ia cemburu melihat itu. Ia bodoh, dalam pikirannya Jilan mau mundur saja. Tetapi, hatinya tetap berkata lanjut. Jilan terperanjat kaget merasakan ada yang menepuk pundaknya pelan. Jilan mendongkak menatap wajah Axel yang menatapnya.

"Lan. Lo marah sama gue?" tanya Axel. Jilan membalasnya dengan gelengan tanpa melihat Axel. "Terus kenapa lo nggak mau ngobrol sama gue, Lan?" tanya Axel lagi. Seperti wartawan saja!

"Gue cuma malas buka mulut."

Axel terkekeh. "Itu lo buka mulut." Jilan tak mengindahkan ucapan Axel. Ia anggap saja angin lalu dan matanya tetap fokus ke depan melihat langit yang berwarna hitam pekat.

Axel memandang Jilan lekat. Baru kali ini ia berhadapan dengan Jilan yang pendiam. Biasanya Jilan akan selalu berbicara dari hal yang tak penting sama sekali sampai hal yang penting. Ini adalah masalah bagi Axel. Melihat Jilan yang tak berbicara seperti ini membuat rasa bersalah kembali menyerangnya. 

Perlahan Axel mengambil tangan Jilan untuk digenggamnya, menguatkan cewek itu. Tetapi, Jilan lebih dulu menyembunyikan tangannya kedalam saku hoodie nya. Axel memakluminya, tapi ingat di dasar hatinya tak rela kalau Jilan seperti ini padanya.

"Lan. Gue cuma mau bantuin Jinan," ujar Axel lembut. 

"Gue tau kok."

"Kenapa jawaban lo singkat, Lan?" tanya Axel tak suka dengan jawaban dan cara bicara Jilan yang terdengar cuek dan ketus.

Jilan menatap Axel. Matanya menatap manik mata cowok itu dengan lekat. Bagaimana cara melupakannya? Kalau pandangannya saja membuat Jilan luluh. Banyak cowok di dunia ini. Tapi, mengapa malah satu cowok yang sama mereka cintai?

"Jinan siapa temannya?" tanya Jilan mengalihkan pembicaraan.

"Ada Zara yang jenguk. Katanya dia mau nginep," jawab Axel.

Kalau Zara menginap disini, dimana Jilan akan tidur? Susah kalau begini. Disaat orang lain senang-senang mempunyai kamar sendiri namun, Jilan malah berbagi kamar dengan Jinan dan akan mengalah nanti malam untuk Zara, sahabat lemot Jinan.

"Lan, jawab gue jujur. Lo kenapa kayak gini?" tanya Axel pelan dan lirih.

"Gue nggak yakin lo beneran suka sama gue."

"Maksud lo?" tanya Axel tak mengerti. Jauh dari hati nya yang terdalam Axel suka dan cinta sama Jilan secara ikhlas dan tulus. Jilan adalah cinta pertama nya, begitupula dengan Jilan yang mengatakan pada Axel bahwa Axel adalah cinta pertamanya juga.

"Kalau boleh dikata. Lo sama Jinan kayak orang pacaran. Sedangkan gue disini penuh dengan kecemburuan ngelihat lo berduaan sama Jinan. Gue tau kalau Jinan itu adalah kembaran gue dan dia juga lagi sakit. Namun, cara lo memperlakukan dia buat gue sadar kalau hati lo bukan untuk gue." Lepas sudah, Jinan terdiam sesaat, gaya bicaranya yang serak seperti ingin menangis. "Gue bodoh, Axel. Udah jelas lo nggak ngasih gue kepastian malah lo kasih gue janji palsu yang nggak terbukti kebenarannya, itu semua bikin rasa sayang dan cinta gue sama lo semakin jauh, semakin dalam."

DIFFERENT TWINS [ END ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang