Jilan berlari menuruni tangga rumahnya. Pagi ini, ia sudah terlambat untuk ke sekolah. Bukan salah Jinan, tetapi salahnya sendiri yang boker terlalu lama dikamar mandi hingga lupa waktu. Jangan salahkan boker nya, salahkan saja mengapa perut Jilan tak henti-hentinya mengeluarkan sisa Boba semalam.
"Assalamualaikum, Ma, Pa. Pagi," sapa Jilan seperti biasanya langsung mengambil roti untuk sarapannya.
Sofyan, pria paruh baya itu memandang putrinya dengan intens. Sudah cukup selama ini ia seolah tak tahu dengan apa yang putrinya lakukan. Jangan berpikir bahwa ia tak tahu kelakuan Jilan di seberang sana. Semuanya, Sofyan ketahui. Tapi, lebih baik ia diam menunggu Jilan sendiri yang mengatakan padanya.
Tak habis pikir dengan putrinya itu, untuk kali ini Sofyan akan menegur Jilan lebih keras lagi dari sebelumnya. Sebelumnya, ia hanya memaafkan kebohongan Jilan, tetapi kali ini, tidak.
"Jilan," panggil Sofyan meletakan sendok makannya.
Begitupula dengan Jilan, cewek itu memasukkan sisa roti kedalam mulutnya hingga penuh. "Apaw Pahww?" tanyanya berusaha menelan roti.
"Telan, Lan," tegur Ochi geleng-geleng.
"Papa mau ngomong sama kamu," ucap Sofyan datar.
Ucapan seperti ini selalu membuat Jilan bosan. Bagaimana tidak, ini papanya sudah ngomong tidak perlu lapor lagi Jilan sudah tahu. Tapi, Jilan tak berani mengatakan itu pada Sofyan karena ia tahu bahwa keadaan seperti ini sedang rumit dan tak bisa dipotong.
"Apa, Pa?" tanya Jilan dengan gaya anggun supaya terlihat lebih berkharisma didepan Sofyan.
Sofyan menatap anaknya itu lekat. "Kamu tahu kesalahan kamu?"
Keadaan meja makan seketika hening, tak ada yang berani menjawab maupun berbicara. Juna, Jinan dan Ochi hanya diam sama seperti Jilan yang menunggu ucapan Sofyan.
"Pulang jam berapa tadi malam?"
"S-sepuluh, Pa," jawab Jilan grogi.
"Apa manfaatnya pulang jam segitu? Apa aturan yang pernah Papa buat untuk kalian? Udah lupa? Apa perlu Papa ingetin lagi?"
Jilan diam, memandang piring kosong yang ada didepannya. Kali ini Jilan tak ingin bertele-tele lagi dengan kebohongannya. Kali ini, Jilan tak ingin berbohong karena dilihat dari ekspresi Sofyan yang tak bersahabat padanya. Jilan pasrah, apapun yang dilakukan Sofyan nanti untuknya, itulah yang terbaik.
"N-nggak, Pa. Jilan masih ingat," jawab Jilan.
"Kamu pikir, kamu pulang malam selama ini Papa nggak tahu? Kamu pikir, kamu bohong selama ini Papa nggak tahu? Kamu pikir, kamu sering dibukain pintu sama Juna dan Jinan Papa nggak tahu? Kamu salah. Papa tahu semuanya. Papa mencoba memberi kamu akses supaya bisa bebas, tapi kamu malah menyia-nyiakan itu semua. Jujur Papa kecewa sama kamu, Jilan Agatha," ujar Sofyan panjang lebar.
Seisi meja hanya diam, terutama Jilan. Cewek itu menunduk, takut dan jengah mendengar ocehan Sofyan bercampur menjadi satu. Jilan memandang raut wajah Sofyan yang menatapnya kecewa. Jilan akui, ia jago bohong. Tetapi tak jago dalam membahagiakan orang tuanya, seperti Jinan.
"Papa nggak ngerti," ucap Jilan menyela dan menatap Sofyan.
"Ngerti apa?"
"Aku pengen main sama teman-teman, Pa. Pengen kayak remaja lainnya, hura-hura sana-sini, bukan hidup dengan kekangan kaya gini yang Papa tahu cuma belajar... belajar dan belajar. Papa lihat Jinan, karena saking fokusnya belajar dia ketinggalan masa remaja yang nggak akan diulang lagi. Papa mestinya tahu, Papa juga pernah remaja. Apa Papa bisa belajar terus setiap hari? Kalau iya, buat apa Papa sekolahin aku mahal-mahal? Delapan jam sehari belajar disekolah, apa masih kurang?" Setelah mengatakan itu, Jilan menyambar tasnya lalu pergi begitu saja tanpa menyalami kedua orangtuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
Teen FictionJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...