MASALAH

6.3K 466 13
                                    

Jilan mendengus kesal seraya menendang-nendang kerikil kecil yang ada di jalanan. Dia tak tau arah harus kemana, malas sekolah, ya, begini jadinya. Saat ini Jilan hanya sendiri berjalan kaki karena mobil ia serahkan pada Jinan dan Juna untuk kendaraan mereka pulang sekolah nantinya.

Hari ini, Natha libur sekolah entah kemana yang pastinya Jilan tak tahu dan tak mau tahu karena itu urusannya. Itulah sifat Jilan tak mau tahu sepenting apapun urusan orang itu  baginya urusan dirinya lebih rumit dari orang lain lebih baik saja Jilan mengurus dirinya dari pada diri orang lain.

Tak tahu ingin kemana, yang penting bersenang-senang itulah, Jilan. Ia berjalan ditepi jalanan sepi seraya menggerutu dan menggumam pelan, dalam hati Jilan bergumam dan berkhayal kapan ia punya motor dan mobil sehingga ia tak harus berjalan kaki seperti ini.

Bukannya tak punya mobil, mereka bertiga hanya diberikan satu buah mobil. Lihat saja Jilan berbeda dari Jinan dan Juna  yang menetap disekolah dan belajar dengan rajin ketika pulang mereka langsung pulang tak pergi bermain kemanapun selain rumah tujuannya.

Sedangkan Jilan? Tujuan utama dalam hidupnya sehabis pulang sekolah adalah nongkrong bersama Natha dan temannya yang lain. Setelah puas Jilan masih belum pulang ke rumah, ia berlanjut ke toko kue mamanya dan barulah sekitar pukul lima sore Jilan pulang dan sehabis magrib ia pergi lagi dengan alasan ingin belajar kelompok bersama Natha.

"Argh, kemana lagi ya?" Jilan bergumam seraya mengacak rambutnya pusing.

Jilan memilih duduk di jalan tanpa alas, ia melempar batu-batu kecil kearah mana pun. Hpnya kehabisan baterai dan ia tak punya powerbank, beginilah nasib hidup Jilan yang ia lalui setiap harinya.

Jilan menunduk, tetapi tangannya tetap melempar batu entah kemana, jalanan ini jalan pintas yang tahu pun hanya orang-orang tertentu seperti Jilan. Jilan merasakan tangannya memegang batu yang cukup besar langsung saja ia melemparnya keras hingga suatu bunyi terdengar jelas ditelinga Jilan.

"SIAL!!"

Mata Jilan membola sempurna, segera ia mendongak mencari umpatan kasar yang keluar dari mulut orang tadi. Oh, dia ternyata, oh damn it, bukan itu tetapi pecahan kaca yang ada pada lampu sen itu sukses membuat Jilan mati kutu.

"Ini mah Anjing banget." Jilan hendak berdiri dari duduknya dengan dada dan badan yang bergetar hebat.

Jilan tak menyangka keisengannya akan berdampak buruk seperti ini, lagipula mana Jilan tahu ada motor yang melewati jalan ini terlebih lagi jumlah mereka yang amat banyak membuat nyali Jilan ciut. Jilan akui ia pengecut memang begitu kenyataan.

"Bangsat, berhenti lo," teriak orang itu dengan keras.

Bodoh, bodoh, bodoh Jilan bodoh, ia memukul-mukul kepalanya akibat kebodohan dan ke-goblokan yang ia punya. Seberapa jauh khayalan Jilan sampai ia tak mendengar deru motor banyaknya orang yang berlalu lalang? sampaikan halu Jilan menikah dengan Brigt Vachirawit? Entahlah, yang penting halu nyatanya belakangan.

Tak mendengarkan teriakan banyaknya orang yang berada dibelakangnya, Jilan terus berlari dan tak ingin bertanggung jawab apalagi bermasalah dengan orang sebanyak itu. Jilan tak ingin cari masalah dengan mereka, kabur dari masalah ada jalan satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.

Dalam hati Jilan terus berdoa semoga orang yang tadi tak mengejarnya. Sungguh, Jilan tak berani menengok kebelakang karena takut dengan kejutan yang si orang tadi berikan dari belakang. Jilan juga tak tau wujud dari manusia itu apakah ia cowok atau cewek? Jilan tak ingin tahu. Terlihat tadi mereka masih memakai helm, dari segi badannya sih cowok, tapi ah... biarin aja.

"Kampret, gue dimana ini?" umpat Jilan.

Lari dari masalah memang benar tetapi masalah baru muncul lagi, Jilan tak tahu ini dimana, tetapi bukan Jilan namanya jika tak menemukan jalan keluar. Hampir seluruh jalanan sudah dihapal Jilan. Sejenak, Jilan menetralkan deru napasnya yang tersengal, Jilan pastikan ia tak akan bertemu orang itu lagi.

DIFFERENT TWINS [ END ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang