Jilan terbangun dari mimpi indah semalam. Apakah itu real? Atau benar-benar mimpi. Rasanya tadi malam tak mimpi mengingat dimana Axel tak mau pacaran dan maunya hanya nikah setelah lulus kuliah nanti dan bodohnya Jilan hanya mengangguk saja serta berjanji saja akan menunggu itu.
Ternyata Natha sudah bangun lebih dahulu. Jilan beranjak mencuci mukanya lalu mencari Natha yang diyakini berada di dapur mengingat ini sudah siang. Dan benar saja, Natha tengah meracik sesuatu, nampak lihai, tapi gimana dengan rasanya?
"Lo ngapain?" Natha terperanjat kaget lalu berbalik kebelakang dimana ia menemukan Jilan.
"Buat sandwich spesial, buat lo dan gue." Natha tersenyum senang kembali melanjutkan memanggang rotinya.
"Nath, kalu lo digituin gimana sih Nath?" Ya, Jilan sudah menceritakan semuanya pada Natha tentang semalam. Kata Natha tak pa-pa, toh, Axel sudah berjanji. Tetapi, rasa Jilan tak yakin akan itu dan kembali bertanya pada Natha.
"Astagfirullah, Jilan. Harus, ya, seratus kali gue ngomong baru tuh mulut berhenti nanyain ini?" Natha geleng-geleng kepala sedangkan tangannya tetap fokus membolak-balikkan rotinya.
Jilan berdecak, namanya juga ragu. Lagian pada siapa lagi Jilan harus curhat, pada Jinan? Big no, tak bakal masuk akal saran dari dia. "Nath, teman curhat gue cuma lo. Nggak ada yang lain," ujar Jilan memelas.
"Udah deh. Mending makan nih. Habis itu lo pulang temuin Oma lo dan sambut dia saat datang ke rumah lo."
"Nggak. Gue pulangnya sore. Lagian Papa Jinan juga lagi kerja."
"Kenapa Papa Jinan?" tanya Natha heran seraya mengigit sandwich nya.
Jilan mendengus, membuang nafasnya kasar. "Karena dia lebih cocok dibilang Papa Jinan dari pada Papa Jilan. Kalau Mama baru Mama Jilan," ucap Jilan tersenyum.
"Juna?"
"Juna anak pungut."
"Sialan! Dia adik lo, Lan," kata Natha geleng-geleng.
Jilan hanya mengangkat bahunya acuh. Baginya Juna memang adiknya, tetapi adik yang tak berguna sama sekali. Minta tolong ini-itu hanya berlaku menurut aturannya tak boleh berlebih, kecuali dengan Jinan, kakak kembarnya itu memang mengerti segalanya.
***
Sebenarnya, jika boleh memilih Jilan malas menginjakkan kakinya di dalam rumah sederhana ini. Rumah dimana ia dibesarkan dari bayi sampai sebesar ini. Tempat keluh kesah hidupnya dan tempat dimana ia berteduh selama ini. Andai saja dalam dunia nyata Jilan punya banyak uang, ia sudah membeli apartemen, mobil mewah dan motor untuk transportasi nya kemana pun pergi, tak perlu merepotkan orang lagi.
Seperti saat ini, Jilan pulang kerumahnya dengan diantar Axel. Cowok itu tiba-tiba datang saja ke rumah Natha. Jilan yang ingin pulang pun langsung diantar Axel meski tadi Jilan sempat menolak, tapi katanya untuk calon istri lima tahun lagi nggak pa-pa.
"Makasih, ya. Lo mau masuk dulu? Mau minum? Mau kopi? Mau teh? Mau jus? Mau susu? Mau teh telor? Mau teh susu? Atau yang lainnya?" tawar Jilan seperti dirumahnya ada saja semuanya.
Axel malah terkekeh. Ia tahu Jilan menawarkan ini hanya untuk candaan semata. Lagian ia juga tak mau mampir ke rumah Jilan dikarenakan Axel malas untuk bertemu Jinan yang palingan nanti akan mengajaknya ngobrol.
"Nggak usah, Lan. Gue pulang aja, ya?" Axel mengelus rambut Jilan yang tergerai seraya tersenyum manis.
"Tuh kan. Setiap lo nganter gue, lo belum pernah tuh mampir ke rumah," ujar Jilan kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
Fiksi RemajaJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...