Hai😁
Selamat puasa bagi yang menjalankan🙏***
"Aws, sakit... hiks."
Jinan berusaha menggapai obat yang ada di atas nakas. Dadanya sakit, sakit sekali. Melebihi dari apapun. Sakitnya kambuh, dan tak akan ada orang yang akan mengetahui nya, termasuk keluarga nya. Jinan sengaja tak memberi tahu keluarganya, ia hanya tak ingin dikatakan lemah, ia ingin terlihat baik-baik saja, termasuk didepan Axel.
Sakit ini hanya ia yang akan merasa, sakit ini hanya obat berupa pil itulah penenang nya. Sakit ini hanya ia yang akan menanggung nya, tak bisa dirasa oleh orang lain dan tak ada belas kasih dari orang lain. Jilan meneguk air minumnya. Sejenak, ia menetralkan nafasnya.
Masih sakit, ia pun kembali memegang dadanya sambil terisak pelan. Jinan menyadarkan dirinya pada lemari, merosot kebawah hingga terduduk dilantai. Sakit, ini lebih sakit daripada tak dianggap Axel. Ini lebih dari segalanya. Orang-orang menyangka ia sudah sembuh, sembuh total dan tak akan terserang penyakit kembali.
"Sakit, hiks. Mama."
"Aku pengen mati aja. Biar sakit ini nggak aku tanggung lagi. Aku udah nggak kuat hiks...." Jinan makin terisak.
Jinan membuka lemari nya, mengambil sebingkai foto, didalam foto itu terdapat dua orang anak kecil perempuan yang berwajah sama. Tak ada yang membedakannya, hanya saja yang satu memakai baju warna pink dan satunya warna biru. Ikat rambut kepang dua dan senyuman yang lebar menggambarkan betapa bahagianya mereka saat difoto seperti itu.
Sekarang, itu hanya kenangan. Kenangan masa kecil yang tak dapat diulang kembali menikmati masa-masa kecil dengan Jilan, kembarannya. Jilan menolak untuk memakai baju couple dengannya, padahal ini adalah keinginan terbesar dalam hidup Jinan ketika dewasa. Cukup satu hari saja mereka menggunakan baju couple sudah membuat Jinan bahagia.
Dengan kasar, ia membanting bingkai foto itu keras. "Diantara kita udah nggak ada lagi panggilan 'Si kembar' kita udah sendiri-sendiri. Aku yang penyakitan dan kamu yang lagi sehat-sehatnya, Lan. Aku nggak terima, kita dari dulu selalu punya apapun sama, tetapi kenapa disaat sakit malah aku aja yang kena? Kenapa kamu juga nggak? Bahkan kamu nggak pernah beri kata semangat untuk kesembuhan aku, ini nggak adil. AKU BENCI HIDUP!"
Dengan bersandar seraya memejamkan mata, Jinan merasa sedikit tenang. Air matanya tak bisa ditahan supaya tak keluar lagi, mengalir dengan sendirinya. Jinan menatap foto mereka saat beranjak remaja di dinding kamar. Foto yang ia dapatkan didalam nakas kamar Jilan kini telah berpindah tempat ke kamarnya.
Beruntung, hari ini tak ada orang di rumah. Ochi-ke toko, Sofyan-kerja, Riana-Pergi belanja dan Juna-pergi belajar katanya. Hari ini, Jinan ingin melampiaskan rasa sakit di sekujur tubuhnya, tak ada lagi Hina yang berusaha tegar. Sekuat apapun ia mencoba, tetap penyakit ini tak akan hilang, akan tetap bersarang dalam tubuhnya. Operasi, adalah jalan terbaik. Namun, Jinan tak ingin karena memakan biaya yang banyak. Apalagi nanti setelah operasi disaat masa pemulihan akan membutuhkan biaya yang banyak. Pasrah, adalah hal terbaik yang Jilan lakukan saat ini.
***
Bahagiakan Jinan? Apakah ia bisa? Apakah ia sanggup melupakan saudari kembar dari Jilan? Rasanya, tak. Bagaimana ia bisa membahagiakan Jinan kalau hatinya saja masih untuk Jilan, separuh raganya dibawa oleh Jilan. Besok, Axel akan menemui Jilan lagi, berbicara empat mata dengan cewek itu. Axel tak peduli, apapun rintangan dan hambatan nya ia akan tetap berjuang untuk Jilan.
Mengajak Jilan nikah mungkin jalan terbaik. Dengan begitu mamanya akan suka dengan Jilan tanpa harus berpikir panjang lagi. Namun, sayang ajakan Axel dianggap becanda semata oleh Jilan. Memang terdengar seperti becanda. Tetapi, jauh didalam lubuk hati terdalam ia mengatakan itu dengan serius tanpa ada main-main.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT TWINS [ END ]
Teen FictionJilan Agatha. Sifatnya susah diatur dan tak mau diatur, berbanding terbalik dengan kembarannya. Jilan panggilannya, kelakuannya jauh dari kategori 'baik.' Pulang malam sudah menjadi rutinitas rutin dalam hidupnya. Mempunyai saudari kembar yang tak...