Pukul setengah enam sore, Refki sudah membereskan mejanya. Tidak ada proyek yang memaksa Refki bertahan di kantor atau bekerja semalam suntuk di apartemen. Beberapa proyek yang sedang on going, aman terkendali. Tidak ada masalah. Refki memastikannya sebelum mengiyakan ajakan Liv untuk menonton film pilihan perempuan itu di bioskop.
Liv memang tidak merengek, tetapi perempuan itu mengatakan bahwa ia merindukan saat duduk di kursi bioskop dengan Refki di sampingnya. Tidak peduli jika Refki beberapa kali hampir tertidur selama Liv menonton dengan serius. Perempuan itu tetap saja tidak kapok mengajak Refki menonton.
Saat membuka pintu ruangannya, masih ada tiga orang di kubikel masing-masing. Dua dari mereka adalah structural engineer yang terlibat dalam proyek pembangunan rumah sakit swasta, dan satu lainnya adalah karyawan baru. Di kantornya, hanya divisi teknik yang meski sibuk, tetapi tidak mengekang karyawan untuk tetap tinggal di kantor meski pekerjaan mereka hari itu belum selesai. Entah karena harus bertemu kontraktor di lapangan atau ada meeting dadakan dengan team proyek. Mereka bisa membawa sebagian pekerjaannya ke rumah, dengan catatan selesai pada waktu yang sudah ditentukan, lebih baik lagi jika sebelum tenggat waktunya. Hal itu dilakukan di bawah masa kepemimpinan Welly, yang kemudian Refki adopsi hingga saat ini.
Refki menyapa dua karyawannya sebelum berdiri di depan kubikel yang paling dekat dari ruangannya. Tempat karyawan barunya berada. Seorang perempuan mendongak dan tersenyum ketika tatapan mereka bertemu.
"Kenapa belum pulang, Dav?"
"Baru mau pulang," katanya, kemudian bangkit berdiri. Melirik ransel yang menggantung pada lengan kanan Refki. "Biasa pulang jam segini, Mas?"
Refki mengangguk. Berkali-kali Refki merutuki ketika dua minggu yang lalu, HRD mengenalkan seorang arsitek pindahan dari sebuah CV di Semarang. Jika bukan Davina—mantan kekasihnya sewaktu mereka kuliah di ITB, mungkin Refki tidak akan mengerutu berhari-hari di depan Welly dan Rengga yang selalu terbahak karena fakta tersebut.
Soal kemampuan, Refki tidak menampik bahwa ia jelas menerima perempuan itu untuk bekerja pada divisinya. Refki butuh arsitek-arsitek handal yang mampu memuaskan owner dengan kinerjanya. Davina pasti mampu melakukannya, jika melihat isi curriculum vitaenya. Namun, bukan tidak mungkin Refki meresahkan satu fakta lainnya. Meski ia tetap akan bersikap profesional.
Seorang satpam mengetuk pintu kaca yang tertutup rapat, Davina urung melontarkan sesuatu—terlihat dari rautnya—dan menghampiri laki-laki paruh baya itu.
"Tunggu ya, Mas." Karena pernah satu kampus, dan sebuah fakta bahwa Refki jarang mau dipanggil 'Pak' jika tidak sedang rapat formal, maka panggilan itu akhirnya menjadi pilihan Davina. Panggilan yang sama seperti ketika mereka masih menjadi sepasang kekasih bertahun-tahun lalu.
Davina mengulurkan sebuah gelas dengan logo kopi ternama padanya. Di tangan kirinya, perempuan itu memegang kopi yang sama.
"Semoga kamu masih suka Americano."
Refki tersenyum kecil. "Thanks."
"Tadi sekalian nunggu ini, pas banget kamu keluar," beritahu Davina ketika Refki menyeruput kopinya. Sudah lama sekali ia tidak mengonsumsi kopi jenis apa pun. Selain rokok, Refki menghindari kopi dan menggantinya dengan susu atau teh.
Liv benci asap rokok. Hal yang pernah Welly katakan pada Refki ketika ia meminta kesempatan untuk bisa menjalin hubungan dengan Liv. Rokok dan kopi adalah satu kesatuan baginya. Maka ketika Refki memutuskan untuk berhenti merokok dua tahun lalu, ia juga akan mengurangi konsumsi kopi yang punya potensi membuatnya ingin menghisap batang tembakau itu.
"Pulang ke mana?"
Davina mengernyit.
"I mean, tinggal di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Night ✔
RomanceSurabaya, 2019. Refki mencintai Liv sebesar ia menghargai tiap detik di malam yang mereka lewati bersama. Liv mencintai Refki sebesar laki-laki itu meluangkan waktu untuk memberinya dekapan hangat kala malam menjelang. Meski dalam beberapa waktu, Re...