35th Moment - Excuse

8.4K 1K 44
                                    

Bekerja untuk konsultan teknik yang tidak pernah kehabisan proyek membuat Refki dan kata sibuk selalu bisa disandingkan kapan saja. Lagi-lagi, ia harus menelan keinginannya untuk menghabiskan waktu bersama Liv setelah satu minggu sejak kepulangannya dari Jember, perempuan itu tidur di rumah Lita atas permintaan Kakaknya.

Namun, saat Liv tiba-tiba menghubunginya dan meminta Refki mencari buku yang tertinggal di mobilnya, Refki tidak berpikir lagi dan segera melajukan mobilnya ke rumah Welly. Sebentar pun, tidak masalah. Yang terpenting, ia tetap bisa melihat Liv malam ini.

Saat ia keluar dari mobilnya dengan tangan memegang buku kuliah Liv, dari arah yang berlawanan, ia mendapati Jazz milik Lita melaju pelan. Saat melirik ke garasi, ia mendapati mobil Welly terparkir di sana.

Dahinya otomatis mengerut. Tidak biasanya.

Jika sedang ada Welly, Lita tidak akan pernah pergi seorang diri. Dan Welly, tentu saja tidak pernah mau menyetir mobil baru Lita yang sempit dan tidak nyaman untuk kakinya.

Refki menunggu di sisi mobilnya, berniat menunggu Lita, saat yang didapati di balik kemudi adalah kekasihnya.

Dadanya mencelus.

Jelas ia tidak salah lihat.

Banyak sekali pertanyaan yang bercokol dalam kepalanya.

Sejak kapan Liv bisa menyetir? Sejak kapan Liv menyembunyikan fakta ini? Sejak kapan Welly mengizinkan istri dan Adiknya hanya pergi berdua sementara laki-laki itu tidak sedang berada di kantor?

Namun, lidahnya kelu. Bahkan ketika Lita keluar dari mobilnya, diikuti Liv yang memarkir kendaraan roda empat itu dengan tanpa menabrak apa pun, ia kesulitan untuk menemukan suaranya sendiri.

Refki memaksakan senyum saat Lita lebih dulu menyapa.

"Masuk, Mas. Mas Welly lagi main sama Raga."

"Aku cuma mau nganter bukunya Liv, Taa," jawab Refki, lantas menoleh pada Liv yang menghampirinya tergesa. Tidak membiarkan Liv mengatakan apa pun, Refki langsung menyodorkan buku kuliah Liv dan berkata, "Aku langsung balik, ya."

Lita sudah masuk lebih dulu dengan menjinjing dua tas plastik berisi makanan yang entah apa saat Liv menahan lengan Refki.

"Tadi aku nyetirnya dari gapura, kok. Nggak di jalan besar."

Refki berkedip sekali, lalu mengangguk. Kepalanya penuh dengan serentetan pertanyaan, tetapi ia hanya bisa mengatakan, "Glad to know that you're safe."

"Iya ... aku baik-baik aja, nggak nabrak apa-apa dari gapura ke sini. Kan deket...,"

Tidak ingin berdebat, maka yang Refki lakukan adalah mengangguk lagi.

Tatapan Liv sudah hampir meluluhkannya, tetapi ketika mengingat bagaimana Liv mampu mengendalikan mobil Lita tanpa lecet, rasa kesalnya mencuat lagi. Ia pasti sudah melewatkan banyak hal. Dan menyadari itu, Refki merasa tidak berguna dan dianggap sebagai seseorang yang penting dalam hidup perempuan itu. Seharusnya ia tidak memaksakan apa pun pada Liv karena perempuan itu berhak atas hidupnya. Sepenuhnya. Namun, pada kenyatannya, Refki kesulitan mengenyahkan perasaan ini.

"Masuk, gih. Salam buat Welly. Aku langsung ke kantor."

***

Bayangan Refki yang memasang raut kesal, marah, dan kecewa—yang meski samar—membuat Liv tidak bisa tenang sejak tadi. Karena itu, ia akhirnya memutuskan pergi ke apartemen Refki dan menunggu laki-laki itu pulang dari kantor yang entah pukul berapa. Liv sudah mengirim pesan, tetapi sampai pukul sebelas malam, laki-laki itu tidak kunjung membalas. Maka ia memilih untuk tidak masuk ke apartemen Refki dan memilih menunggu di minimarket terdekat yang buka 24 jam.

Too Night ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang