51st Moment - Lucky

6.5K 889 35
                                    

Selepas hujan reda dan menyisakan gerimis yang jarang, Refki bergegas memesan makanan melalui gofood. Ia memilih menu paling cepat disajikan dan dirasa driver yang menjemput makanannya tidak mengantri terlalu lama. Keluar kantor dalam kondisi hujan tidak dipilih Refki meski ia lapar, tetapi membuat driver gojek yang dipesannya kehujanan hanya untuk membawakan makan malamnya juga ia pertimbangkan sejak tadi. Maka Refki melakukannya begitu hujan deras berhenti mengguyur jalanan Surabaya. Bosan makan di ruangannya, Refki memilih pergi ke pantri. Niatnya, untuk sekalian menyeduh teh hangat.

Begitu membuka pintu, didapatinya punggung sempit terbalut blus sederhana yang ia kenal dengan baik. Davina menoleh padanya. Seutas senyum tipis tampak di wajahnya sebelum perempuan itu kembali memunggungi Refki dan menunduk—entah untuk melakukan apa. Refki lebih dulu meletakkan satu kotak nasi gorengnya di atas meja, berdekatan dengan kotak makan Davina yang sepertinya dipesan dari restoran serupa.

"Mau bikin apa?"

Refki meletakkan mug di atas meja kabinet dan menjawab, "Teh. Airnya cukup, Dav?"

"Cukup, kok." Perempuan itu refleks menyingkir saat Refki berdiri di sampingnya. Ia memeriksa water boiler di sudut meja dan berdiri di dekat sana.

Hanya dengung samar water boiler yang mengisi atmosfer di sekitar mereka. Liv sudah memberi tahu racikan teh yang selalu perempuan itu seduhkan untuknya di apartemen, tetapi Refki mendadak lupa. Ah ralat, lebih tepatnya ragu. Setelah memasukkan sebuah teh celup ke dalam mug, Refki membuka toples berisi gula. Sendok yang ia temukan di dalam toples tidak sama dengan sendok yang Liv gunakan di dapur apartemennya.

Refki berkedip dua kali sambil memandangi toples berisi gula yang sudah dibuka di tangannya. Liv tengah berada di Gramedia dan kebiasaan perempuan itu menyetel ponsel dalam mode silent pasti tengah dilakukannya. Jika ia memutuskan untuk menghubungi Liv, ada kemungkinan perempuan itu tidak membalas pesannya maupun menjawab teleponnya. Dan hanya ada Davina di—

"Kalau kamu masih suka teh yang manis, gulanya tiga sendok, Mas."

Refki menoleh pada Davina yang kini tengah menyandarkan pinggangnya pada pinggiran meja kabinet. Perempuan itu menengadah untuk menatapnya. Memutus monolog Refki dalam kepalanya.

"Ah ... thanks, Dav." Refki mengikuti instruksi perempuan itu. Tiga sendok gula untuk tehnya.

Liv nyaris tidak pernah membiarkannya membuat teh sendiri. Seringnya, ia menjadi pemerhati. Mengawasi Liv yang sigap menyiapkan untuknya ketika ia menginginkan minuman itu. Refki terbiasa membiarkan dirinya diurusi Liv, terutama pada hal-hal kecil seperti ini. Tanpa Liv, ia kebingungan. Dan malam ini, tehnya berakhir diseduhkan oleh Davina. Perempuan itu tidak bersuara selama melakukannya, mengaduk kopinya sendiri sebelum melarutkan gula dalam teh milik Refki.

Saat keduanya sudah duduk berhadapan dengan makanan masing-masing, yang ternyata menunya serupa—nasi goreng, tidak ada suara yang terdengar. Refki lebih dulu menghabiskan nasi gorengnya, menenggak sebotol air mineral berukuran mini, sebelum menyesap teh di dekat kotak makannya. Sementara itu, kotak makan milik Davina isinya masih tersisa beberapa suap.

"How's life, Dav?"

Sendok di tangan Davina menggantung di udara. Detik selanjutnya, tepat ketika Davina mengalihkan perhatian pada Refki, barulah perempuan itu sadar bahwa ia baru saja terpaku. Refki diam-diam merasa bersalah. Seharusnya ia tidak bertanya dan membuat banyak dugaan yang bercokol dalam kepala Davina, tetapi tidak menciptakan obrolan juga bukan suatu ide bagus.

Davina adalah temannya, dan saat ini perempuan itu menjadi salah satu arsitek yang cerdas dalam timnya. Davina memang belum lama bekerja untuk Aryatama, tetapi ia sudah unjuk kecerdasan dalam beberapa proyek yang mengikutsertakan dirinya menjadi anggota tim. Hanya karena mereka pernah menjalin kasih—dan sudah lama sekali kandas, Refki berpikir bahwa bukan berarti mereka tidak bisa baik-baik saja. Refki sudah lelah bersikap seolah Davina adalah perempuan yang harus ia jauhi. Seolah hal-hal yang terjadi di masa lalu membuat mereka tidak bisa mengobrol dengan santai.

Too Night ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang