Malam ini, Refki pulang kantor sesuai jam normal. Ia sengaja tidak membawa pekerjaannya ke apartemen, Malam ini pula, Riana—Mama Liv dan Lita—berkunjung ke Surabaya. Sendirian. Tanpa suaminya. Sebagai pasangan Liv dan karena ia menghormati Riana sebagai orang tuanya juga, Refki mengiakan ajakan Liv maupun Lita untuk makan malam bersama.
Riana akan menginap untuk beberapa hari ke depan. Sebagai bentuk liburan akhir tahun, katanya. Sebab di awal tahun, Riana sudah punya janji dengan keluarga suaminya. Setidaknya, itu yang ia dengar dari Liv. Perempuan itu mengatakannya dengan nada ringan. Tanpa beban. Seolah pertengkaran antara dirinya dan Riana beberapa waktu lalu bukanlah hal besar yang patut dipermasalahkan.
Pagar rumah Welly dibuka lebar-lebar ketika ia tiba dan menghentikan CR-Vnya di sisi kanan pagar. Bertepatan dengan ia yang keluar dari mobil, Welly muncul. Laki-laki itu mengantongi ponsel pada saku celana, kemudian menyapanya.
"Mau ke mana?" tanya Refki setelah membalas sapaan laki-laki itu.
"Jemput Mama di bandara. Ikut, Ref?"
"Ayo. Pakai mobilku aja, Well." Refki langsung menyetujui. "Aku bilang Liv dulu."
Saat akan masuk ke rumah Welly sementara si empunya rumah menunggu di teras—karena ia kabur dari Raga yang merengek ikut, Refki mendengar derap langkah kaki yang disusul suara tangisan anak kecil.
Kekasihnya muncul dengan Raga dalam gendongannya. Anak itu sesenggukan. Serta-merta, Welly berbalik dan menatap putranya cemas.
"Papa, aku mau ikut jemput Oma...," Suaranya memelas. Wajahnya basah akan air mata.
Siapapun tahu Welly paling tidak bisa melihat Raga menangis. Dengan raut serbasalah, Welly mendekat pada Liv dan membawa Raga dalam gendongannya. Satu tangan laki-laki itu tidak berhenti mengusap punggung Raga dengan lembut. Raga masih menangis saat menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Welly. Tangan kecilnya mencengkeram erat kaus yang Welly kenakan.
"Papa cuma sebentar, Nak. Mas Raga nemenin Mama sama Amy masak, ya?"
"Ayo main sama Amy, Mas. Mau nyusun rel kereta? Apa mau main balapan mobil?" Liv ikut-ikutan membujuk. Yang mengherankan, Raga menolak. Padahal bujukan Liv jarang tertolak oleh anak itu. Sebab Raga terlalu menyayangi Liv untuk menolak perempuan itu. Sayangnya, kali ini hal tersebut mendadak tidak berlaku.
"Mau ikut Papa, Amy," rengeknya dengan suara sengau.
Raga terhitung jarang merengek. Apabila ia sudah melancarkan aksi tersebut, maka akan sangat sulit menolaknya.
"Papa nggak bisa nyetir kalau Mas Raga ikut...,"
"Apy yang nyetir," ucap Refki seraya mendekat pada Raga dan mengusap puncak kepalanya. "Udah, jangan nangis lagi, Mas."
Spontan, Liv menoleh pada Refki. "Lho, kamu mau ikut?"
Ia mengangguk.
Di tengah lampu teras yang termaram, Refki bisa melihat Liv mengerling padanya. "Inget ya, Mas. Mama nggak cerewet. Sama kayak Mbak Lita. Jadi jangan galau kalau omonganmu direspon singkat-singkat doang."
Tidak hanya Refki, Welly pun terkekeh mendengar penuturan Liv. Jangan ditanya, Refki benar-benar gemas pada perempuan yang malam ini hanya mengenakan setelan baby doll berwarna kuning pastel itu. Ingin sekali mencuri kecupan pada pipinya, tetapi ia tidak mau diusir oleh Welly karena bertingkah di depan Raga.
Saat akhirnya bertemu Riana, Refki mendapati perempuan paruh baya itu masih sama seperti terakhir kali ia temui. Riana itu punya senyum yang sepenuhnya diwariskan pada Lita. Sorot matanya tajam dan mampu mengintimidasi lawab bicaranya. Namun, suaranya betul-betul lembut saat berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Night ✔
عاطفيةSurabaya, 2019. Refki mencintai Liv sebesar ia menghargai tiap detik di malam yang mereka lewati bersama. Liv mencintai Refki sebesar laki-laki itu meluangkan waktu untuk memberinya dekapan hangat kala malam menjelang. Meski dalam beberapa waktu, Re...