10th Moment - Naughty

22.6K 1.8K 46
                                    

Refki mendongak, mengalihkan tatapan dari layar laptop yang menampilkan software Sketch Up pada pintu ruangannya yang diketuk pelan. Belum sempat beranjak untuk memeriksa siapa yang datang dan berurusan dengannya di luar jam kantor, pintu ruangannya dibuka dari luar oleh Welly.

Dengan heran, Refki beranjak. Welly tidak pernah tiba-tiba datang ke ruangannya jika bukan untuk hal-hal yang terbilang cukup penting. Bahkan jika ada yang ingin dikatakannya, laki-laki itu akan meminta ia datang ke ruangannya untuk berbicara di sana.

"Something happened?"

Welly tertawa kecil. "Nggak usah panik, Ref."

Refki menyusul Welly yang duduk pada sofa di depan meja kerjanya. Meski sudah berteman lama, pada beberapa waktu, Refki menaruh segan pada laki-laki itu.

"Aku pengen tau apa Davina masih di sini bareng kamu."

"Aku nggak pernah lembur berdua sama dia, Well. Selalu ada beberapa staf yang masih di sini. Kamu bisa cek CCTV kalau nggak percaya."

Kali ini, tampaknya Welly tidak berbicara sebagai atasannya, melainkan sebagai Kakak ipar Liv. Jantungnya berdegup lebih kencang seiring dengan senyum Welly yang samar, tetapi begitu intimidatif.

"I know, Ref. Kenapa panik banget sih?" Welly menatapnya dengan senyum geli. "Dia biasa pulang jam berapa?"

Refki melirik arlojinya sebelum kembali menoleh pada Welly. Pukul lima sore. "Abis makan malem. Satu atau dua jam lagi."

Ada jeda beberapa menit, sampai suara Welly kembali terdengar.

"Lita selalu bilang kalau Liv orangnya nyaris tanpa rahasia. Kalau dia sedih, dia bakal nangis. Kalau cemburu, bakal bilang. Kalau marah, dia siap meledak di depan objek kemarahannya sekalipun. Tapi tolong jangan dimanfaatin buat nguji seberapa dia mau membuka diri di depanmu." Welly menatapnya serius. Benar-benar serius. "Liv juga sama mandirinya kayak Lita. Hidup mereka keras, Ref. Kalau dia udah minta tolong, pasti dia bener-bener butuh. Kalau dia udah minta sesuatu ke kamu, pasti dia bener-bener berharap hal itu kamu lakuin."

Refki tidak menyahut, menunggu Welly kembali melanjutkan. Tahu ke mana pembicaraan ini terarah. Meski sudah mengira, Refki tetap tidak benar-benar siap ketika hari ini datang. Welly tampaknya masih memikirkan saat Refki meminta akses CCTV untuk membuat Liv percaya bahwa ia tidak melakukan apa pun—selain memeluk Davina—dengan mantannya itu di kantor. Di ruangannya, terutama.

"Aku percaya kamu bisa jagain Liv, meskipun kalian punya cara sendiri buat jalin hubungan. Tolong jangan bikin Liv ngerasa nggak berarti, dia berhak bahagia tanpa syarat, Ref. Aku sayang Liv sebesar Lita sayang dia. Udah cukup sakit-sakitnya sebelum kamu dateng, sebelum aku jadi bagian dari keluarganya. Kita—terutama kamu yang siap jadi pendamping dia seterusnya, bagian bikin dia bahagia, dan aku yakin itu nggak sulit."

"Bisa, kan, Ref?" tanya Welly terlampau tenang.

Refki mengangguk. Mereka jarang terlibat pembicaraan serius. Maka ketika Welly melakukannya, hal ini bukan untuk dianggap angin lalu.

"I never meant to hurt her, Well." Ditatapnya Welly yang bersandar dengan tenang pada punggung sofa. "Kalau ternyata kelakuanku ngusik kamu dan Lita, aku bener-bener minta maaf. Aku sayang banget sama Liv, aku mau hidup bareng dia. Bahkan tanpa kamu minta, aku bakal tetep bahagiain dia. Liv bilang, dia nggak mempermasalahkan masa laluku."

"Masa lalumu bareng Kila, bukan Davina." Welly menyanggah dengan tegas. "Kalau aku sama Lita mempermasalahkan juga, kamu nggak bakal sama Liv sekarang. Cukup buat nggak jadi brengsek lagi, Ref. Hubungan kalian terlalu berharga untuk main-main doang."

Too Night ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang