18th Moment - Sick

17.2K 1.5K 43
                                    

Pasca UAS, Liv disibukkan dengan persiapan laporan pertanggungjawaban HIMA yang semakin mendekati due date. Tidak jarang ia terjebak di kampus hingga nyaris tengah malam, setiap harinya. Maka, saat Refki mengiriminya pesan sore tadi, sejujurnya ia tidak bisa menemui laki-laki itu. Apabila Refki tidak menolak terang-terangan untuk minum obat batuk tanpa dirinya.

Liv sedang sibuk-sibuknya membongkar berbagai berkas untuk disusun dan dilaporkan pada acara LPJ nanti saat Refki mengirim pesan padanya. Mengetahui Refki sedang dalam kondisi yang tidak fit karena minum es sembarangan dan membuat tenggorokannya sakit, Liv akhirnya menyisihkan waktu.

Saat masuk ke apartemen Refki, lampu-lampunya tidak menyala. Selain kamar utama yang pintunya dibiarkan terbuka dan cahaya lampu dari dalam sana memantul hingga ke luar, seluruhnya padam. Liv lebih dulu menghidupkan lampu dan meletakkan makanan juga obat yang dibawanya di meja makan. Kemudian menaikkan suhu AC yang dingin, sebelum berjongkok di depan Refki yang memejamkan mata dengan posisi meringkuk di sofa.

"Mas...,"

Liv harus menunggu berdetik-detik sampai Refki membuka mata. Laki-laki itu kembali memejamkan mata dengan dahi berkerut saat cahaya lampu berlomba-lomba menusuk matanya.

"Makan dulu, yuk. Terus minum obat."

Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan Liv tahu betul bahwa ia cukup terlambat menghampiri Refki setelah mendapati raut datar laki-laki itu.

"Nggak laper." Suaranya serak. Ternyata Refki tidak berbohong saat mengatakan tenggorokannya sakit. Dan saat ini, Liv juga bisa melihat hidungnya yang memerah.

Kekasihnya tampak sedang merajuk dan Liv harus ekstra sabar menghadapinya.

"Dikit aja, ya?" Liv merapikan rambut Refki yang berantakan dengan satu tangan. "Aku bawain obat batuk juga."

"Iya gampang, nanti diminum. Aku mau tidur dulu."

"Kamu bisa tidur lagi abis makan sama minum obat, Mas." Liv masih berusaha membujuk. "Ya?"

Refki menggeleng dan memejamkan matanya lagi.

"Aku udah ninggalin laporanku buat ke sini, lho. Ayo dong, jangan ngambek gini."

Yang tidak Liv tahu, ucapannya membuat emosi Refki tersulut. Laki-laki itu membuka mata dan beranjak bangun. Membuat Liv berdiri dengan napas pasrah. Rupanya, ia sudah salah ucap.

"Ayo, aku anterin kamu balik ke kampus lagi."

Aduuuh, bego banget sih! jerit Liv dalam hati.

"Mas...,"

Refki menoleh dengan dahi berkerut samar. Laki-laki itu sudah menggenggam kunci mobilnya dan membuat perasaan bersalah sontak memenuhi rongga dada Liv.

"Apa? Mau naik gojek aja?"

Liv menelan ludahnya susah payah. "Maaf, aku—"

"Apa aku minta kamu buat minta maaf?"

"Yaudah nggak usah emosi, Mas."

Liv menjengit kaget saat Refki meletakkan—setengah melempar—kunci mobilnya di atas meja TV.

"Kamu bilang bakal dateng sebelum jam enam, tapi kamu telat. Oke, aku bisa maklum." Bisa dilihatnya sorot mata Refki yang tak terbaca. "Sorry, harusnya aku nggak berisik kayak bocah sedangkan kamu lagi sibuk. Kalau kamu keberatan buat dateng, kamu tinggal telpon aku. Bilang nggak bisa dateng dan sebutin seribu alasanmu."

"Aku emang ngarepin kamu dateng, tapi aku nggak mau maksain dan bikin kamu nggak nyaman sama apa yang kamu lakuin, Liv. Dan, sedikit pun aku nggak kepikiran kalau kamu bakal ngomong kayak gitu."

Too Night ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang