Awal semester selalu menjadi waktu yang bisa Liv gunakan untuk bersantai. Tidak peduli saat ini ia sudah berada di masa semester tujuh yang berarti bahwa ia dihadapkan pada kenyataan untuk segera menyusun tugas akhir. Biasanya, Liv dan Gista akan menghabiskan waktu kosong mereka untuk menonton film, window shopping yang berakhir dengan menjinjing masing-masing setidaknya satu tas plastik atau satu paper bag berlogo. Kalau sedang malas terjebak macet di siang hari, mereka akan menghabiskan waktu di kantin fakultas sebelah dan menjajal hampir semua jajanan di sana. Namun, diantara semua yang bisa Liv lakukan, ia tidak menyangka akan kembali ke kampung halaman dan terjebak di rumah sakit untuk menemani Papanya yang kondisinya tiba-tiba drop.
Tidak. Liv tidak keberatan. Bahkan jika ia harus membolos satu minggu penuh untuk merawat Papanya, Liv sama sekali tidak keberatan. Ia bisa mengulang mata kuliah apa pun, tugas apa pun yang saat ini dilewatinya. Tapi ia tidak akan pernah bisa mengulang waktu untuk merawat Papanya.
Namun, Liv tidak pernah suka jika Papanya sudah jatuh sakit dan itu karena ia memaksakan diri untuk menciptakan kesibukan yang tidak perlu. Liv tidak pernah melarang Papanya melakukan apa pun. Tapi dengan catatan, tidak mengorbankan tubuhnya yang mulai menua. Dan tentu saja, Liv semakin benci kenyataan bahwa saat Papanya jatuh sakit, ia bahkan tidak bisa langsung berada di sisinya. Hal yang sungguh berkebalikan dengan yang selalu Papanya lakukan untuk Liv maupun Lita jika salah satu di antara mereka jatuh sakit bertahun-tahun lalu.
Saat mendengar kabar dari salah seorang Budenya, Liv tidak berpikir lagi dan langsung mengemasi pakaiannya. Liv tidak sempat berpamitan pada Refki yang hari itu harus menggantikan Welly menemui klien mereka, tidak juga sempat membuat surat izin dan sudah pasti ia dinyatakan membolos. Tetapi ia tidak terlalu peduli. Yang Liv inginkan pada detik ketika Budenya mengabarkan bahwa Trisna—Papanya—dilarikan ke rumah sakit karena ternyata gula darahnya tinggi, adalah berada di samping laki-laki itu.
Welly meninggalkan pekerjaan yang menunggunya di Kamis siang, selain menghindari Liv yang nekat naik bus, Lita pun—meski menanggapi dengan lebih tenang—juga ingin segera bertemu Papanya. Sampai saat ini, Liv masih tidak habis pikir akan keengganan Papanya ikut tinggal bersama Lita dan Welly, berada satu kota dengan Liv. Bahkan ketika mereka sudah membujuk berkali-kali. Setiap ditanya alasannya, jawaban yang Lita dan Liv terima adalah, "Papa nggak bisa ninggalin rumah ini."
Terlalu sibuk mengurus sisa kekacauan di rumahnya karena Trisna masih sempat mengoprek dapur—sebelum jatuh sakit—dan entah apa yang dibuatnya kali ini, Liv baru merasa bahwa setiap jengkal tubuhnya terasa sakit setelah ia usai membersihkan diri ketika hari sudah benar-benar gelap. Lita hendak membantu, tetapi Liv melarang karena ia tidak mungkin membiarkan Raga hanya bersama Welly yang tetap harus bekerja meski laki-laki itu tidak meninggalkan Papanya sama sekali.
Pada hari kedua Papanya dirawat, kondisinya mulai membaik. Gula darah dan statistik jantungnya perlahan stabil. Liv tahu benar, Papanya hanya kelelahan. Tetapi sebagai penderita diabetes, hal itu tentu bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Perasaannya sungguh campur aduk. Liv tidak pernah suka berada di posisi ini. Ketika yang bisa ia lakukan hanya menangisi kondisi Papanya yang kian renta, namun tetap memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja.
"Papa pengen pulang."
Permintaan itu sudah Liv maupun Lita dengar belasan kali. Belasan kali pula, mereka menolak mentah-mentah dan mengatakan bahwa Papanya hanya akan bisa pulang setelah dokter mengizinkan dan setelah kondisinya benar-benar stabil.
Setelah meletakkan dua bungkus roti yang dibelinya di kios dekat rumah sakit, Liv duduk di kursi dekat ranjang dan menggenggam tangan Papanya. "Di sini dulu sampai Papa bener-bener sembuh. Aku sama Mbak Taa udah jauh-jauh dari Surabaya buat jagain Papa, lho. Masa Papa masih nggak mau nurut, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Night ✔
Roman d'amourSurabaya, 2019. Refki mencintai Liv sebesar ia menghargai tiap detik di malam yang mereka lewati bersama. Liv mencintai Refki sebesar laki-laki itu meluangkan waktu untuk memberinya dekapan hangat kala malam menjelang. Meski dalam beberapa waktu, Re...