Liv terkesiap saat mendapati CR-V milik Refki terparkir di samping gapura tempat kosnya berada. Lampu di dalam mobil dinyalakan dan Liv bisa melihat saat Refki mendongak dari ponsel di tangannya, kemudian menatap Liv dengan kaget bercampur emosi.
Pasalnya, Liv tidak sendiri dan mobil Edo yang mengantarnya malam ini berhenti beberapa meter di depan mobil Refki.
Begitu memadamkan lampu, Refki keluar dari mobilnya. Laki-laki itu masih mengenakan kemeja. Wajahnya kusut. Tatapannya dingin dan menusuk. Liv benar-benar dalam masalah.
Singkat cerita, malam ini Liv berniat me time. Refki sedang lembur di kantor dan tidak bisa memastikan kapan laki-laki itu akan pulang. Setelah menghabiskan dua jam di Gramedia yang mendapatkan beberapa buku yang ia inginkan, Liv bertolak menuju salah satu depot bakso terdekat. Meski sudah menghidari Edo dengan tidak menerima ajakan laki-laki itu, tampaknya semesta berkehendak lain dan mereka bertemu di sana.
Mengabaikan jantungnya yang berdegup kencang, Liv bergegas menghampiri Refki yang sudah berdiri di sisi kanan pilar gapura dengan langkah lebar.
"Udah dari tadi, Mas?" Liv meringis samar ketika menyadari bahwa ia gagal menyembunyikan panik dalam nada suaranya.
"Baru aja. Aku telpon kamu, kenapa nggak diangkat?"
Liv akan menjawab ketika Edo lebih dulu menyapa Refki. Sontak, Liv merutuki dirinya karena melupakan keberadaan laki-laki itu.
"Saya nggak sengaja bertemu Liv di warung bakso. Daripada dia pulang sendiri sedangkan sekarang sudah jam sembilan, jadi sekalian saya antar dia."
Refki menoleh pada Edo dengan sebelah alis terangkat. Melupakan bahwa laki-laki itu pernah dan mungkin akan kembali menjadi rekan kerjanya. "Terima kasih. Seharusnya nggak perlu. Liv bisa telpon saya dan saya nggak akan keberatan jemput dia."
Sebelum Liv sempat menahan dirinya, ia sudah mengatakan, "Tapi kan kamu lembur, Mas," dan ia langsung menyesalinya detik itu juga.
Liv tahu, Refki berusaha tidak meluruhkan sisa-sisa kesabarannya. Dan, mereka tidak akan beradu mulu di depan gapura saat jalanan masih tetap ramai. Liv tahu itu. Refki tidak akan melakukannya. Namun, Liv tidak bisa menampik rasa cemas yang diam-diam menggerogotinya.
Untuk meminimalisir kemarahan Refki, Liv menoleh pada Edo dengan senyum kikuk, lantas berkata, "Makasih udah nganterin aku, Mas. Hati-hati di jalan."
Edo mengangguk dan berpamitan pada Refki dengan santai. Sesungguhnya, hal itu justru membuatnya semakin ketakutan.
Malam ini, perjalanan dari tempat kosnya menuju apartemen Refki terasa sangat lama. Padahal Liv tahu beberapa kali Refki menyalip motor dan mobil yang mengemudi dengan kecepatan standar. Laki-laki itu bungkam dan Liv masih berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya untuk bersuara.
Bahkan ketika mereka sudah tiba di apartemen Refki dan Liv tidak tahu apa yang harus ia lakukan, Refki masih tetap bungkam. Laki-laki itu berlalu begitu saja ke dalam kamarnya. Kemudian, Liv mendengar shower dinyalakan. Sambil menunggu Refki selesai mandi, Liv memeriksa ponselnya yang malam ini sengaja ia setel dalam mode silent dan mendapati sepuluh panggilan tak terjawab, yang semuanya berasal dari Refki.
Tidak perlu menunggu lama, Refki keluar dari kamarnya dengan rambut basah dan wajah segar. Setelan kerjanya sudah berganti dengan kaus dan celana pendek. Sayangnya, raut laki-laki itu terlampau datar. Tidak ada senyum menggoda, mata berbinar, dan raut yang lebih cerah ketika bertemu Liv.
"Kamu udah makan, Mas?"
Liv beranjak untuk mengekori Refki memasuki dapur, kemudian membuka kulkas dan mengeluarkan root beer yang Liv simpan sejak dua hari lalu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Too Night ✔
RomanceSurabaya, 2019. Refki mencintai Liv sebesar ia menghargai tiap detik di malam yang mereka lewati bersama. Liv mencintai Refki sebesar laki-laki itu meluangkan waktu untuk memberinya dekapan hangat kala malam menjelang. Meski dalam beberapa waktu, Re...