Sementara menunggu lift tiba di lantai empat, Refki menggulung kedua lengan kemejanya. Liv baru saja mengatakan bahwa perempuan itu hampir sampai ke kantornya. Siang tadi, Liv—dan kerandomannya, tiba-tiba menginginkan dinner date. Begitu Refki mengiyakan, sekalipun tumpukan pekerjaannya sedang menunggu untuk diselesaikan, Liv mengatakan akan langsung menghampiri Refki ke kantor supaya mereka tidak perlu bolak-balik apartemen Refki dan menghabiskan banyak waktu di jalan. Lagi-lagi, Refki menyetujuinya.
Bisa dihitung jari dalam sebulan, Liv benar-benar meminta waktunya. Perempuan itu selalu tahu kapan Refki benar-benar sibuk dan bisa menempatkan diri untuk tidak merengek. Tidak jarang Liv menghabiskan waktu senggangnya seorang diri, atau dengan teman-temannya. Maka ketika perempuan itu meminta tanpa basa-basi, Refki tidak punya alasan untuk menolak. Ia punya banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Mengurangi jam tidurnya demi bisa bersama Liv di tengah kesibukannya sungguh sebuah hal yang tidak akan Refki sesali. Dengan Liv, ia bisa kembali mengisi energinya yang terkuras sejak tadi.
Pintu lift berdenting, lalu terbuka perlahan. Refki mendongak dan pandangannya bertemu dengan manik mata Kila.
"Hai, Ref."
Refki tersenyum dan melangkah masuk ke dalam lift. "Sore, Ki."
Jam aktif kantor sudah berakhir, Refki membiarkan saat Kila menyapanya santai.
"Basement?" tanya Kila sebelum menekan tombol pada dinding lift.
Laki-laki itu menggeleng begitu Kila meliriknya. "Lobi."
"Lembur, Ref?"
Dari pantulan pintu lift yang tertutup rapat di depan mereka, Refki menggeleng. "Disusulin pacar. Kamu balik sama siapa? Sendiri atau dijemput?"
"Dijemput Mas Andre." Kila menyebutkan nama suaminya tanpa canggung. "Aku masih nggak dibolehin bawa motor."
Refki mengangguk paham dan menoleh pada Kila untuk menatap perempuan itu beberapa detik. "You look good, Ki. Nggak ngalamin ... morning sickness?"
"Tau istilah itu dari....?"
"Welly," jawab Refki, tanpa membuat Kila menunggu. "Selama Lita hamil, secara nggak langsung dia ngeracunin istilah-istilah aneh yang nggak aku pahami. Tapi karena dia kelihatan stress kalau nggak ngerusuhin aku, jadi ya ... terima aja. Lagian, yang hamil juga calon Kakak ipar."
Derai tawa Kila yang rendah langsung memenuhi lift. Pintu kotak besi tersebut berdenting dan keduanya keluar bersamaan yang disertai ucapan Kila atas pertanyaan Refki. "Sejauh ini, I'm good. Kayak yang kamu lihat. Aku jarang muntah—kayak Ibu hamil biasanya, kecuali kalau lagi nggak fit dan banyak kerjaan. Alhamdulillah, anakku nggak rewel-rewel banget."
"Happy to know that you're good, Ki."
Tanpa sengaja, Refki menunduk dan matanya tertumpuk pada alas kaki yang Kila kenakan untuk sepersekian detik. Mereka berdiri di sayap kanan lobi, menunggu kedatangan Liv dan suami Kila yang menjemput perempuan itu.
Refki tidak sadar ketika ia sudah bertanya, "Mau nunggu di dalem, Ki?"
Kila menatapnya dengan alis terangkat. Lalu, Refki menunduk dan menunjuk high heelsnya.
"Oh...," Kila tidak langsung menjawab karena tidak bisa menahan senyumnya yang kian mengembang. "Nggak apa-apa, di sini aja. Hari ini Pak Radhi nggak ada jadwal meeting di luar, jadi nggak dipakai jalan bolak-balik."
"Welly bilang, itu sepatu paling neraka yang dia tau dan ... dia anti lihat Lita pakai itu selama hamil."
"Pak Welly udah banyak ngajarin kamu soal ini, ya. Udah siap dong, jadi Bapak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Night ✔
RomanceSurabaya, 2019. Refki mencintai Liv sebesar ia menghargai tiap detik di malam yang mereka lewati bersama. Liv mencintai Refki sebesar laki-laki itu meluangkan waktu untuk memberinya dekapan hangat kala malam menjelang. Meski dalam beberapa waktu, Re...