42nd Moment - Commitment

11.5K 1.2K 53
                                    

Selama beberapa minggu terakhir, Refki betul-betul kesulitan meluangkan waktu untuk pulang ke rumah orang tuanya. Gelombang pekerjaannya di akhir tahun kian tinggi dan tidak bisa ia tinggalkan begitu saja. Jika akhirnya punya waktu luang, Refki sudah kelelahan dan tidur menjadi satu-satunya penawar.

Sebetulnya, Sofia—mamanya—bukan tipikal ibu-ibu posesif yang meminta Refki pulang sebulan sekali atau bahkan seminggu sekali. Sofia tahu benar bahwa bekerja diranah teknik berarti siap waktunya terkuras habis-habisan. Hal tersebut sudah terjadi padanya semenjak puluhan tahun lalu, tepatnya setelah menikah dengan papanya yang bekerja di perusahaan listrik negara. Hanya saja, sejak Rifka dinyatakan lulus sekolah dasar, Fajar—papanya—mendapat promosi jabatan dan bekerja penuh dari kantor. Tidak lagi menjadi teknisi yang harus siap keluar kantor kapan saja dibutuhkan. Namun, mamanya tiba-tiba mengeluh kemarin malam. Meminta Refki meluangkan waktu karena ia kesepian. Ternyata papanya tidak kalah sibuk.

Refki bisa maklum. Akhir tahun, pada beberapa pekerjaan tertentu, hectic menjadi santapan sehari-hari.

Setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan di Jumat sore—sebab tidak mungkin ia pulang membawa setumpuk pekerjaan dan akan membuat Sofia mengamuk, Refki memutuskan untuk pulang. Liv yang meski sibuk, tetapi begitu mendengar ajakan Refki, langsung semangat mengiakan. Secara tersirat, mamanya memang meminta Refki pulang dengan Liv. Ternyata tidak hanya Refki yang mudah mencintai perempuan itu, keluarganya pun merasakan hal yang sama. Ia merasa lega karena tidak harus menghadapi drama pelik antara menantu dan mertua yang diceritakan staf-stafnya di kantor.

Tidak mau membuang waktu, mereka bertolak menuju Pasuruan begitu ia pulang dari kantor di Jumat sore dan Liv mendapat izin dari kakaknya,. Tidak hanya mamanya, Liv kelihatan senang bukan main. Perempuan itu seolah tidak punya rasa lelah karena sejak mereka berangkat di menit pertama dan mobil Refki sudah memasuki area perumahan tempat orang tuanya tinggal, Liv terus saja mengoceh.

Perempuan itu mengoceh tentang banyak hal. Skripsinya. Dosen pembimbingnya yang rewel setengah mati. Teman-temannya yang mulai mengajukan seminar proposal. Perempuan itu juga sebentar-sebentar bertanya bagaimana Refki menjalani hari-hari sibuknya. Bagaimana pekerjaannya. Bagaimana proyek-proyek yang tengah ditanganinya.

Berbicara dengan Liv tidak pernah satu arah. Apabila perempuan itu usai dengan ceritanya, maka ia akan bertanya balik pada Refki. Memancing supaya Refki juga menceritakan kegiatannya.

Hubungan seperti ini membuat Refki merasa sangat dihargai. Yang lebih membahagiakan lagi, Liv melakukan itu dengan suka cita. Bukan karena terpaksa, tetapi karena ingin tahu dan ingin masuk dalam dunia Refki.

Bagi Refki, Liv adalah teman hidupnya yang sempurna. Ideal. Tepat. Dan, mampu mengambil hati keluarganya.

Seperti yang ia lihat malam ini.

Perempuan itu tidak malu memulai obrolan dan mudah akrab dengan lawan bicaranya. Liv tampak nyaman berada di tengah-tengah keluarganya. Menimpali ucapan Mamanya. Menimpali ucapan Rifka yang tidak mau kalah. Merespon celetukan Papanya.

Perempuan itu betul-betul tahu cara membuat Refki semakin jatuh dalam pesonanya.

"Ayo, Mbak Liv." Rifka tahu-tahu beranjak. Tidak hanya Refki yang keheranan, Mama dan Papanya pun serupa.

Sementara itu, Liv mengangguk dan tersenyum kecil. Lantas menoleh pada Mamanya.

"Liv mau nemenin Rifka jajan dulu, Ma."

"Tadi aku udah janjian sama Mbak Liv. Abis makan, kita bakal jajan berdua." Rifka tersenyum riang saat mengatakannya. Perempuan itu kemudian menoleh pada Refki dan mengerling jail. "Mas Refki nggak boleh ikutan. Ini girls time!"

Too Night ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang