[AYANA_49]

236 30 3
                                    

"Di dalam satu hati tidak mungkin ada dua nama di tempat yang sama. Pasti ada yang lebih istimewa dan mungkin saja itu dia, bukan aku."

^~^

Ayana melangkahkan kaki, memasuki apartmen miliknya. Malam ini, Ayana merasa bahagia dan lebih tenang, ia bisa melupakan masalahnya dengan Brian, walau hanya sesaat.

Dengan bersenandung kecil, Ayana melewati ruang tamu. Gadis itu bahkan tidak menyadari Brian yang duduk bersandar dengan rahang mengeras di sofa.

"Sayang," panggil Brian lembut saat menyadari bahwa Ayana tidak melihatnya. Laki-laki itu bahkan meredam emosinya yang sejak tadi sudah memuncak.

"Hah!" kaget Ayana, sontak membalikkan tubuhnya. Ia sudah hampir menginjak tangga pertama tadi.

"Dari mana? Gue nungguin lo satu jam lebih di sini," tutur Brian sambil berjalan mendekati gadisnya itu.

"Ahh ... itu, aku dari luar, yah, dari luar," jawab Ayana sedikit gugup, hubungannya dan Brian belum menemukan titik temu. Hal itu mengakibatkan suasana yang cukup canggung di antara keduanya.

"Ngapain ke luar?"

"Kakak ngapain ke sini?" tanya Ayana mengalihkan pembicaraan. Suasana seperti ini membuat Ayana tidak tenang.

"Gue mau ngajak lo jalan," Brian menghentikan ucapannya setelah berdiri tepat di depan Ayana, laki-laki itu menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya sebentar, "tapi, ini udah terlalu malam. Lagi pun kayaknya lo udah puas jalan bareng Rean."

Ayana terdiam. Gadis itu tidak tahu harus mengatakan apa. Kepalanya tertunduk, ia merasa sakit jika menatap wajah Brian.

"Ya, kenapa kita harus seperti saat ini? Lo ada di depan gue, tapi rasanya lo sangat jauh. Lo selalu ada di dekat gue, tapi gue gak bisa jangkau lo. Dan yang lebih miris, gue di sini nungguin lo, sedangkan lo jalan sama cowok lain. Dan gue gak bisa marah, karena kesalahannya ada di gue."

Ucapan Brian membuat gadis utu mendongak, Ayana menatap lekat manik legam milik kekasihnya itu, ada gurat sedih di sana.

"Gue minta maaf, Ya," ujar Brian lirih sambil menggenggam kedua tangan Ayana.

"Gue ... gue udah lepas kalungnya. Gue janji gak bakal pake lagi. Maaf, Ya."

Ayana tersenyum dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan Brian.

"Aku gak masalah Kakak pake kalung dengan liontin cin-cin itu atau gak, tapi Kak, selagi NR itu ada di hati kamu, aku bisa apa?" tanya Ayana sambil meletakkan tangannya di dada kiri Brian.

"Aku gak mau, kamu lepasin kalung itu hanya karena aku marah. Tapi orang itu masih bertah-tah di hati  Kakak, itu percuma. Aku gak peduli siapa NR itu, yang aku ingin kamu, hati kamu adalah milikku seutuhnya. Egois memang, tapi aku hanya ingin itu."

Brian yang mendengar ucapan Ayana merasa matanya memanas. Entah karena apa, mungkin karena tatapan sendu dan ucapan lirih Ayana atau hatinya yang gelisah sebab tidak bisa memilih antara keduanya. Brian menjatuhkan dirinya hingga tubuhnya bertumpu pada lutut.

Laki-laki itu menarik pinggang Ayana dan memeluknya erat, Brian menyandarkan kepalanya di perut Ayana.

"Maaf, Ya. Aku gagal membuatmu selalu tersenyum," lirih Brian.

Ayana tersenyum menahan air yang selalu mendesak keluar dari retinanya, gadis itu bahkan sampai mendongak agar cairan bening itu tidak jatuh. Ia tidak boleh menangis.

"Aku maafin kamu, Kak." Tangan Ayana terulur untuk mengusap rambut Brian yang sejajar dengan perutnya.

"Kamu udah gak marah, kan? Kita baikan, yah, Sayang," pinta Brian dengan menatap Ayana dari bawah. Laki-laki itu masih setia berlutut dengan tangan memeluk pinggang Ayana erat. 

"Aku gak pernah marah, hanya sedikit kecewa dan bingung," ucap Ayana sambil tangannya membingkai wajah Brian dan memaksa laki-laki itu menatap matanya. "Aku bingung, saat aku menghina gadis itu, aku melihat tatapan tidak suka di matamu, Kak. Dan saat itu, aku juga melihat wajahmu tegang seakan sangat marah." Gadis itu menghentikan ucapannya sebentar, sembari kedua ibu jarinya menghapus air mata yang jatuh di pipi Brian.

"Dari sana aku simpulkan bahwa gadis itu berharga buat kamu. Dan yang aku tahu, di dalam satu hati tidak mungkin ada dua nama di tempat yang sama, Kak. Pasti ada yang lebih istimewa dan mungkin saja itu dia, bukan aku."

"Dan opini aku itu diperkuat dengan liontin cin-cin yang kamu kenakan. Seandainya kamu tahu, Kak, itu sangat mengganggu. Itu yang jadi penyebab aku menjauh, aku ingin kamu mengenali perasaanmu. Dan aku berharap saat kamu kembali ke aku, itu adalah jawaban dari hatimu bahwa kamu mencintaiku, bukan gadis itu," terang Ayana mengungkapkan isi hati yang belakangan ini cukup mengganggu hari-harinya.

"Aku gak mau kehilangan kamu, Ya." ujar Brian dengan retina yang sedikit sembab dan wajah yang memerah.

"Bukan, kamu hanya takut kesepian, hingga saat kamu menunggu Asya kembali, kamu hadirkan aku dalam cerita kalian." Kalimat ini sangat menyakiti perasaan Ayana, gadis itu mencintai Brian dengan tulus, tapi sangat sakit rasanya saat tahu bahwa ia bukan satu-satunya.

"Gak, aku cinta kamu. Aku gak mau kamu pergi. Aku gak bisa tanpa kamu, aku hancur, Ya." Brian terkejut mendengar ucapan Ayana, sejak kapan gadis itu mengenal Asya?

Brian segera berdiri dan menarik tubuh mungil Ayana ke dalam pelukannya. Kecupan-kecupan singkat, laki-laki itu tanamkan di puncak kepala Ayana.

"Kamu hanya takut kesepian," balas Ayana dan menggenggam jaket bagian depan Brian, gadis itu menyalurkan rasa sakit, bingung dan gundahnya dalam genggaman itu.

"Gak, Sayang. Aku benar-benar akan hancur bila kamu memilih menjauh dan pergi."

***

AYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang