Tidak ada yang bisa menebak misteri waktu, mungkin saat ini banyak orang yang menangis berharap hidupnya segera usai. Dan besoknya, orang-orang itu tertawa lepas dengan menggenggam bahagia di kedua tangannya. Begitu juga sebaliknya.
Faktanya, waktu itu tidak pernah berpihak pada siapapun. Saat bahagia datang, maka cukup menghitung waktu, pasti luka akan datang menyapa. Tinggal menghitung giliran, maka semuanya akan menghampiri.
Istirahat pertama, Ayana berencana menghabiskan waktu dengan buku biru, tempat gadis itu biasa mencoretkan semua puisinya. Bel baru berbunyi lima menit yang lalu, tapi pada les ketiga, kelas mereka free.
"Aya!" Esya menyenggol lengan Ayana, pasalnya sejak tadi gadis itu hanya diam dan tidak mendengar Markus yang sudah berteriak di depan kelas.
"Ahh ... apa?" Kaget Ayana.
"Flashdisk makalah kita mana? Itu Markus udah disuru buat ngumpul," terang Esya.
Ayana berbalik dan memeriksa isi tasnya, membuka tiap sisi tas. Namun gadis itu tidak menemukan flashdisk itu. Ayana lanjut merogoh saku baju dan roknya. Namun tetap tidak ada.
Ayana mulai panik dan merogoh isi laci dan sialnya tetap tidak ada. Gadis itu mengeluarkan seluruh isi tasnya ke atas meja, dan kembali memeriksa seluruh bagian tas dengan panik. Ia juga memeriksa sela-sela buku dan tetap tidak ada.
"Lo gak bawa?" tanya Maria yang mulai membaca keadaan dari tingkah Ayana.
"Gue bawa, tapi kok gak ada di sini, yah?" Ayana yang panik semakin panik saat flashdisk tidak ditemukan di tas, laci dan saku seragamnya.
"Inget dulu, Ya," ujar Esya.
"Seingat gue, gue bawa, Sya," jawab Ayana lirih.
"Gue gak mau tau, itu flashdisk harus ada. Kita ngerjain dua jam lebih, sekarang lo cari, Ya. Bila perlu lo cek di apart, sana! Siapa tau lo lupa masukin ke tas," ucap Maria mulai kesal.
"Mar, lo jangan gitu. Sensi mulu dari kemarin," pinta Esya.
"Bodoamat, pokoknya flashdisk itu harus ada. Titik." Maria kembali tidur dengan menelungkupkan wajah dan berbantalkan tangannya.
"Jadi, gimana, Ya? Lo udah ingat?"
Ayana menggeleng, "gue coba cek apart, deh. Benar kata Maria, kita udah cape ngerjain itu. Maaf, yah." Ayana segera berlalu tanpa mendengar balasan Esya untuk permintamaafannya.
Ayana mendekati Markus yang masih berdiri di depan kelas.
"Kus, flashdisk kami ketinggalan. Ini gue mau jemput, tunggu, yah," pinta Ayana dengan menyatukan kedua tangannya di depan wajah.
Markus hanya mengangguk, ada rasa kasihan pada gadis didepannya ini. Sebenarnya, Markus mendengar perbincangan mereka tadi, terutama ucapan Maria yang tidak layak disebut sebagai ucapan sahabat.
Ayana adalah gadis yang baik, selama menghabiskan waktu di ruang khusus untuk radio sekolah, menurut Markus belum ada ucapan Ayana yang membuat dirinya tersinggung. Ayana memang terkesan cuek pada masalah orang lain, namun melihat kedekatannya dengan Mita, Markus yakin Ayana adalah tipe gadis yang cocok dijadikan sahabat sekaligus pendengar yang baik.
"Lo hati-hati, makalah ini istirahat kedua ajah gue kasih, sekalian sama punya kalian."
Ayana mengangguk, "sekalian surat izin gue dong, Kus," cengirnya.
"Tipe orang gak tahu diri, nih. Sana lo!" respon Markus, laki-laki itu mendorong bahu Ayana sampai ke ujung pintu dengan pelan. Kemudian mereka berpisah, Ayana menuju gerbang dan Markus ke ruang bk.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Teen FictionHidup itu pilihan itu kata mereka Lalu kenapa hidupku diselimuti kesedihan Disaat aku memilih bahagia??