[AYANA_55]

415 28 2
                                    

Happy reading, everyone!

Langkah Brian terhenti begitu mendengar teriakan seseorang dari belakang tubuhnya. Brian menatap tubuh Ayana yang juga ikut terhenti, keduanya kompak berbalik.

Brian mengerutkan dahinya, untuk apa Esya sampai berteriak memanggil dirinya. Dan seingat Brian, dia tidak sedekat itu hingga Esya boleh memanggilnya hanya dengan nama, dia senior di sini.

Ayana berjalan mendekati Brian kembali, berdiri di sebelah kanan laki-laki itu. Menunggu hal apa yang akan Esya ucapkan.

"Hm ... boleh ngomong, tapi berdua," ujar gadis itu, setelah berhasil sampai di depan Ayana dan Brian.

Brian menaikkan sebelah alisnya, tangannya beralih menggenggam tangan Ayana, hendak membawa gadis itu pergi. Esya dan segala hal yang berkaitan tentang gadis itu, sama sekali tidak penting bagi Brian.

Ayana mengikuti Brian. Namun, belum sempat keduanya melangkah, Esya menahan tangan Brian. Hal itu mendapat tatapan tidak suka dari Ayana, gadis itu langsung melepas cekalan tangan Esya di tangan Brian.

"Mau ngomong apa? Kenapa gue gak boleh dengar?" tanya Ayana pada akhirnya.

"Penting. Brian, tolong." Esya berbicara dengan wajah memelas, tetapi Ayana tidak suka dengan mimik itu. Ayana muak, di sekolahnya dulu, banyak gadis yang menggunakan raut muka seperti itu untuk menarik perhatian laki-laki.

"Apa?" tanya Brian dingin.

"Berdua, ini tentang," Esya menghentikan ucapannya sebentar, menatap Ayana lekat, kemudian kembali menatap Brian, "Asya," lanjutnya.

Ayana terkejut, Asya itu Natasha Reindra 'kan? Untuk apa dia kembali, Brian miliknya hanya untuk Ayana. Apa pun hubungan mereka dulu, itu hanya masa lalu. Sekarang Brian adalah untuk Ayana dan hanya Ayana.

"Asya kenapa?" tanya Ayana datar, sejujurnya gadis itu tidak nyaman dengan topik ini. Namun jika Esya sudah memulainya, Ayana tidak boleh mundur.

Ayana menatap Brian, "Brian pacar gue. Apa pun hubungan mereka dulu, untuk saat ini Brian udah jadi milik gue. Semua yang berhubungan dengan Asya, bukan lagi urusan Brian. Begitu sebaliknya. Jadi, apa yang akan lo ucapin saat ini, masih ada kaitannya dengan Brian? Kalo gak, kita mau masuk kelas," ujar Ayana kesal.

"Tapi masalahnya gak sesederhana itu, Ya. Brian dan Asya terikat, terima atau tidak terima, itulah faktanya. Bahkan jika diminta memilih antara lo dan Asya, belum tentu Brian akan memilih lo," balas Esya lebih kesal.

Ayana menatap Esya dingin, kemudian mengalihkan tatapannya pada Brian, "kamu mau di sini, bicara dengan Esya tentang Asya, atau pergi ke kelas denganku?"

Kalimat yang cukup rapi. Namun, memiliki arti yang sama, Brian harus memilih, antara Ayana atau Asya. Dan siap atau tidak siap, Ayana harus menerima pilihan Brian. Mungkin ini hanya pilihan dalam hal kecil. Namun, jika sudah berhubungan dengan dua hati, pilihan kecil sekalipun bisa menjadi penentu untuk kedua hati itu.

"Ayok!" ajak Brian tanpa pikir panjang. Laki-laki itu tidak boleh membuat masalah, dia tahu apa maksud dari pilihan yang Ayana berikan. Dan jika dalam hal kecil begini pun, dia harus mengecewakan Ayana, itu akan sangat tidak adil untuk gadis itu.

Ayana menatap Esya dengan tatapan sinis, menggapai uluran tangan Brian dan beralih dari tempat itu.

Brian memilih dirinya, jadi tidak ada yang perlu gadis itu takutkan. Sekalipun Asya kembali, jika Brian memilih dirinya, itu tidak akan merubah apapun. Brian miliknya untuk saat ini dan selamanya.

***

"Mommy," lirih seorang gadis, rambutnya terurai begitu saja. Wajahnya memerah, matanya membengkak, khas orang menangis.

"Daddy," tangisnya penuh pilu, membuat seorang wanita yang sudah berumur yang sedang berdiri di balik pintu yang tidak tertutup rapat, ikut menangis merasakan sesak yang dirasakan oleh anak majikannya itu.

"Kita akan kembali ke Indonesia 'kan, Mommy udah janji waktu itu ... kenapa sekarang kalian pergi? Asya gak mau sendiri Mom, Dad ... tapi kalian malah ninggalin Asya. Sekarang apa yang harus Asya lakukan?"

Kepalanya berdenyut sakit, sejak kemarin gadis itu menangis. Perutnya hanya di isi air putih. Tubuhnya bahkan tidak berpindah, sejak kemarin, setelah mendengar kabar menyedihkan dari pesawat yang orangtuanya tumpangi, Asya terduduk di sudut kamar dengan fotonya bersama kedua orangtuanya di pelukan gadis itu.

Satu per satu memori bersama orangtuanya berputar di kepalanya. Di saat Asya melakukan kesalahan, Daddy memarahinya, tetapi setelahnya akan memeluk tubuh Asya dan menghapus air mata gadis itu.

Di saat Asya berada di saat terendah dalam hidupnya dulu, kedua tangan Mommynya akan terulur mengajaknya berdiri, memeluk Asya erat hingga dirinya siap untuk menghadapi dunia kembali.

Tidak ada orangtua di dunia ini yang sebaik kedua orangtuanya. Di saat biasanya kekayaan dan kasih sayang tidak dapat berjalan beriringan, di sini, di dalam keluarga kecilnya, Asya mendapat kedua hal itu.

"Di saat Asya menangis, tangan siapa yang akan menghapus air mata Asya, Mom? Di saat Asya kedinginan, pelukan siapa yang akan sehangat pelukanmu, Mom?"

Tangis Asya kembali pecah, rasa sesak di dadanya tak kunjung reda. Asya belum siap untuk kehilangan kedua sayapnya, yang akan membantu Asya mengarungi dunia ini, yang akan melindungi Asya.

"Di saat orang-orang itu mau ngelukai Asya, siapa yang akan nyelamatin Asya, Dad? Di saat Asya tidak lagi punya tempat di dunia ini, ke pada siapa Asya akan pulang, Dad?"

Asya mengelus wajah Kedua orangtuanya yang ada di foto berukuran sedang yang gadis itu peluk.

"Dimana Asya akan menemukan senyuman sehangat ini lagi?" tanya gadis itu begitu lirih.

"Dingin, Mom," keluhnya dengan berurai air mata. "Asya pengen dipeluk, Mom. Asya nangis, Dad. Daddy pernah bilang, bahwa setiap Asya nangis, Daddy akan datang dan menghapus air mata Asya."

"Tuhan, mengapa secepat ini? Aku belum siap kehilangan, mengapa Engkau begitu tega? Kembalikan orangtuaku, Tuhan ... aku mohon."

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang