Stay with me until the end
"Memaafkan itu mudah. Namun untuk melupakan dan bertingkah seolah tidak pernah terjadi apa-apa, itu sulit."
***
Brian menggeram kesal, terhitung sudah satu jam lebih Brian menunggu Ayana di salah satu kafe dekat apartmen gadis itu. Berkali-kali Brian coba menghubungi ponsel Ayana, namun tidak satu pun diangkat.
Brian juga mengirimkan banyak pesan. Dan satu pun tidak berbalas. Laki-laki itu akhirnya berdiri, dia keluar dan berlalu menuju apartmen gadisnya.
Brian memasukkan pin apartmen Ayana, namun apartmen itu kosong. Tidak ada Ayana di dalamnya. Brian duduk di sofa ruang tamu, laki-laki itu tampak menghela nafas gusar. Retinanya terpejam dan rahangnya mengeras.
Suara pintu yang terbuka, membuat Brian segera membuka retinanya. Dan di sana Ayana berdiri dengan beberapa buku di pelukannya.
"Dari mana?" tanya Brian dengan nada dingin. Sejak kedatangan Rean, Brian merasa takut. Laki-laki itu bisa saja merebut Ayananya. Tidak jauh berbeda, pikirannya juga kacau dengan kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi.
"Ngapain di sini, Kak?"
Ayana tidak menjawab pertanyaan Brian, dia malah bertanya balik. Sungguh, gadis itu terkejut melihat Brian yang tiba-tiba ada di apartmennya.
"Dari mana?" ulang Brian.
"Itu, aku disuruh pak Teo belajar sama Kak Rean," ujar Ayana sambil mendudukkan bokongnya di samping Brian.
Brian terkejut, benar saja Rean memang totalitas dalam berbuat.
"Lo mau?"
"Mau. Kakak ngapain di sini?"
"Segitu asiknya bareng Rean, lo sampai lupa ada janji sama gue." Brian mengalihkan tatapannya dari gadis yang sejak tadi dia khawatirkan itu.
Ayana tampak berpikir sebentar, "ahh, iyah, maaf. Aku lupa. Aku masih harus kejar materi, soalnya banyak yang belum aku kuasai."
"Lo bisa tanya sama gue. Sejak awal gue yang ngajarin lo, kenapa sekarang tiba-tiba harus Rean. Lo juga gak ada bilang apa-apa sama gue, setidaknya minta izin atau minimal lo kasih tahu gue."
"Aku ngajak kamu ketemu karena ini, mau kasih tahu dan minta izin. Lagian kamu juga ikut, kamu juga butuh belajar, Kak," ucap Ayana lembut, tidak ada gunanya saling berkeras, yang ada itu membahayakan hubungan mereka.
"Beda, Ya. Lo beda, gue rasa lo makin jauh. Gue nungguin lo di kafe depan, lo gak datang. Gue datangin apartmen lo, dan lo gak ada di sini. Biasanya sebelum mengambil keputusan apa pun, lo pasti cerita dulu sama gue. Sekarang, lo sibuk sama buku dan Rean. Gue kangen, Ya."
Brian menatap Ayana lekat, tiga hari berlalu tanpa ada pertemuan di antara keduanya. Sebenarnya, Brian sudah tahu soal Rean yang jadi pembimbing Ayana, tapi itu dari mulut orang lain, bukan dari kejujuran kekasihnya ini.
Setiap hari di sekolah, Ayana dan Rean sibuk di Perpustakaan sekolah. Brian tidak tahu, bahwa di luar sekolah pun mereka ternyata sibuk berdua. Rean yang bukan siapa-siapa, tiba-tiba saja jadi prioritas. Sedangkan Brian, dia jadi prioritas yang dikesampingkan.
"Gue nungguin lo satu jam lebih, Ya," tambah Brian.
"Maaf, empat hari lagi, Kak. Setelah itu, semuanya kembali seperti awal," ujar Ayana lirih.
"Empat hari," Brian berdengus, "tanpa ada kabar. Sesusah apasih untuk ngetik beberapa kata ajah, Ya. Atau minimal jawab telepon gue, Ya. Lo tau sesenang apa gue pas lo ajak ketemuan? Tapi lo hancurin gitu, ajah. Gue kecewa, Ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Teen FictionHidup itu pilihan itu kata mereka Lalu kenapa hidupku diselimuti kesedihan Disaat aku memilih bahagia??