Stay with me until the end
Jangan lupa vote😉
Tidak ada yang tahu akhir hidup ini, jadi jangan terlalu banyak berharap hingga lupa bersyukur.
***
Hari semakin gelap, udara juga semakin dingin. Namun tidak bisa menghancurkan kebahagiaan di antara dua anak manusia itu. Kelam yang dulu menyandra kehidupan keduanya, seakan lenyap, tidak berani menyakiti lagi.
Bahkan perlahan kehadiran kekasih menjadikan mereka jadi pribadi yang lebih baik tanpa sadar. Brian yang dikenal sebagai sosok playboy, sekarang malah jadi bucinnya Ayana. Sedang sang gadis, Ayana dulu dikenal sebagai sosok introvert bahkan tomboy, kini gadis itu berubah menjadi gadis ramah dan feminim.
Hanya cinta dan kematian yang dapat mengubah segalanya. Itu benar. Sehebat apa pun kamu menyangkal rasa cinta itu, maka kamu akan kalah dengan hal yang akan kamu lakukan tanpa kamu sadari. Rasa cinta itu akan selalu mencari dan mendekati pemiliknya, layaknya dua magnet yang berbeda kutub. Tarik menarik.
Sedang kematian adalah akhir untuk hidup di dunia ini. Kamu bisa mengubah segalanya dengan kematian, meninggalkan orang terbunuh dengan rasa bersalah atau meninggalkannya dengan sejuta harap yang pernah kamu janjikan. Sederhana, tapi mematikan untuk orang lain.
Tidak ada yang tahu akhir hidup ini, jadi jangan terlalu banyak berharap hingga lupa bersyukur. Demikian dua insan ini, tidak boleh tergantung berlebihan dan rasa cinta yang terlalu hingga membuat mereka bodoh. Itu salah. Namun sekali lagi, biarkan waktu yang menjawab semuanya.
Ayana berjalan menuju apartmennya, Brian sudah pulang. Ayana meminta laki-laki itu, tidak perlu mengantarnya sampai masuk apartmen, karena malam sudah sangat larut. Ayana khawatir Brian kemalaman pulang ke rumahnya. Padahal bisa menginap di apartmen Brean.
Di saat Ayana memutar knop pintu apartmen, seseorang memukul pundaknya pelan.
Ayana berbalik, "ada apa, Kak?" tanya Ayana yang sudah terbiasa dengan Brean yang sering membuat dirinya kaget.
Brean diam, laki-laki itu menjulurkan sebuah kotak ke depan Ayana. "Ini, tadi petugas apartmen antar ke sini."
"Kenapa gak titip ke meja resepsionis, ajah?" tanya Ayana sambil menerima kotak itu dari Brean.
"Coba buka!" perintah Brean mengabaikan pertanyaan Ayana.
Ayana mendelik kesal. Namun tetap menuruti ucapan Brean. Ayana terkejut, kotak terlempar hingga isi kotak berceceran di lantai, bahkan kaki Ayana juga terkena cipratan darah dari kotak yang jatuh itu. Ayana menatap Brean saat dia merasa nafasnya memburu.
"Gue udah duga, makanya gue langsung minta sama petugas." Brean menatap kepala kucing yang terpisah dari tubuhnya beserta darah yang kini berceceran di lantai.
Brean mengalihkan tatapannya pada gadis di sampingnya itu. Brean menatap tingkah Ayana yang sangat aneh. Nafas gadis itu memburu, bahkan tubuhnya oleng hampir limbung, seandainya Brean tidak dengan segera memegang pundaknya.
"Lo kenapa?" Brean segera memapah Ayana masuk ke apartmen gadis itu."Aku ... phobia darah."
Brean mengumpat pelan, membantu Ayana duduk di sofa. "Gue ambil air hangat dulu," ucap Brean datar.
Ayana segera menahan tangan Brean, "aku takut, bagaimana jika orang itu datang terus memotong kepalaku seperti kucing itu. Bagaimana ... bagaimana jika ... jika dia membunuhku," ujar Ayana lirih sambil menunduk. Nafasnya masih memburu bahkan kepalanya mulai pening.
"Ini yang katanya tomboy? Sadgirl, bengek!" batin Brean ketika melihat keadaan Ayana saat ini.
"Gue cuma bentar." Brean segera menarik tangannya dan beralih menuju dispenser di sudut ruangan. Brean kembali dengan segelas air hangat di tangannya.
Ayana menyatukan kedua telapak tangannya yang bergetar dan basah karena keringatan. Sudah lama phobia-nya tidak kambuh bahkan Ayana sudah hampir lupa rasanya, di saat dulu dia terbiasa dengan rasa sakit itu.
Ayana menerima air hangat itu dari Brean. Laki-laki itu membantu Ayana minum, saat melihat tangan Ayana yang bergetar. Brean mengambil ponsel disakunya, mengotak-atiknya sebentar dan akhirnya tersambung je pihak apartmen. Brean meminta pihak apartmen untuk membersihkan kekacauan di depan, nanti dia akan menjelaskan alasannya dan meminta pihak apartmen lebih berhati-hati.
"Lo punya musuh?" tanya Brean sambil memijat kepala Ayana pelan, sungguh laki-laki itu tak pernah punya pengalaman menangani orang yang phobia darah.
Ayana menggeleng pelan, tangannya menggenggam lengan Brean erat. "Tapi aku biasa dapat teror, aku pernah di kunci di toilet, di perpus, bahkan rem motor yang sebelumnya baik-baik saja, tiba-tiba blong dan masih banyak. Hmm, dan surat kadang."
"Brian tahu?" Brean tetap memijat kepala Ayana, bahkan laki-laki itu membiarkan Ayana memeluknya. Keduanya terdiam dalam lamunan masing-masing untuk beberapa saat.
Ayana kembali menggeleng. "Jangan pergi, aku takut," ucap gadis itu saat Brean menggeser tubuhnya menjauh dari Ayana.
Brean tersenyum tipis, "jika lo selemah ini, bagaimana caranya gue gunain lo buat jatuhin Brian?" batin laki-laki itu.
***
Brian berjalan sedikit tergesa menuju ke apartmen Ayana. Alvin lupa mengembalikan kunci motor Ayana, jadi dia ingin mengembalikannya pada Ayana, sekaligus menemui gadis itu. Brian tidak tahu sejak kapan dia sebucin itu, mereka bahkan belum ada setengah jam berpisah, tapi dia sudah rindu.
Brian tersenyum menanggapi jantungnya yang berdegup kencang. Senyumnya semakin merekah saat laki-laki itu sudah sampai di depan pintu.
"Dasar ceroboh! Bagaimana mungkin dia lupa menutup pintu," batin Brian saat melihat pintu yang tidak tertutup rapat.
Di saat tangannya ingin membuka pintu Brian mendengar suara lirih Ayana.
"Jangan pergi, aku takut," ucap gadis itu.
Dengan siapa gadis itu berbicara? Dan kenapa suaranya selirih itu? Jelas-jelas tadi gadis itu baik-baik saja. Brian terdiam sebentar, mencoba meyakinkan hatinya dari kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.
Brian mendorong pintu tergesa dan apa yang dia lihat sangat jauh dari apa yang laki-laki itu harapkan. Di sana Ayana yang memeluk Brean dengan nyaman, bahkan Brian bisa menjamin bahwa Ayana tidak menyadari keberadaannya.
Brean yang menyadari keberadaan Brian tersenyum sinis pada laki-laki itu. Brean mengeratkan pelukannya pada tubuh Ayana. Dan Ayana semakin menyesakkan kepalanya pada dada Brean. Nyaman, itu yang dia rasakan.
"Apa-apaan ini?" tanya Brian dingin, tidak keras namun cukup untuk menebarkan sinyal bahaya ke telinga orang yang mendengarnya.
Ayana kaget, dia segera bangun dari duduknya. Matanya melebar saat melihat Brian yang menatapnya nyalang.
"Hmm ... Kak, ini gak seperti yang kakak lihat," ujar Ayana sambil menjumpai Brian, Ayana mengelus lengan Brian lembut.
Brian menepis tangan Ayana. Dia segera menjumpai Brean yang berdiri di dekat sofa. Satu pukulan tepat mengenai wajah tampan Brean, laki-laki itu terjatuh menimpa sofa. Brian maju dan mencengkram kerah baju Brean.
"Lo mau apa? Hah!" Brian semakin mengeratkan cengkramannya di kerah Brean. Rahangnya mengeras, bahkan bola matanya memerah bersama nafasnya yang memburu.
Brean tersenyum sinis, dengan cepat dia membalikkan keadaan hingga sekarang tubuh Brian lah yang ada dalam kukungannya. Itu mudah, karena laki-laki itu sedang terbakar emosi, hingga tenaganya tidak stabil.
"Lo mau apa? Gue udah minta maaf, dan Ayana gak ada hubungannya dengan masalalu kita, jadi stop ganggu dia!"
***
Lanjut part selanjutnya, ok?
See you, dear😘
KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Teen FictionHidup itu pilihan itu kata mereka Lalu kenapa hidupku diselimuti kesedihan Disaat aku memilih bahagia??