"Satu kata maaf darimu itu sangat bermakna untukku"
——————————————————
"Brengsek!" pekik Ayana kepada preman yang kini dia pukul.Beberapa tukang ojek datang melihat apa yang sedang terjadi. Mereka mengambil alih dua orang preman itu, dan keduanya sudah diamankan oleh tukang ojek itu.
Sedangkan Ayana, dengan setia memukuli preman yang satu lagi. "Mati lo anjing!" teriak Ayana sambil terus menghujani preman itu dengan pukulan atau tendangan.
"Bangsat!"
"Bangun lo anjing!"
"Dasar burik!"
Ayana tak membiarkan preman itu sempat mengambil nafas, Ayana terus melempar tinjunya ke wajah, perut, dan sesekali menendang perut ataupun kaki preman itu.
Tak seorangpun diantara tukang ojek yang menyaksikan, berani memisahkan keduanya. Melihat Ayana yang seperti kesetanan, tapi anehnya dia menangis.
"Gue gak mau begini! Mati lo anjing," lagi-lagi Ayana berteriak sambil mengumpat. Segala emosi, sakit hati, kecewa yang dia pendam, kini tersalur dalam setiap pukulan atau tendangannya.
Ayana kembali menari ancang-ancang, kemudian menendang dada preman yang sudah lemah itu.
"Arghhhh," pekik preman itu saat kaki Ayana menyentuh dadanya.Ayana tersenyum miring, kembali mendekat pada preman yang kini sudah tersungkur akibat tendanganya. "Bagaimana? mari kita lanjut, ok?" Ayana bertanya sambil tersenyum manis.
Saat Ayana hendak meletakkan kakinya diatas dada preman itu, satu tangan memeluk pinggangnya dari belakang. "Sudah, Aya," bisiknya pelan tepat ditelinga Ayana.
Seketika tubuh Ayana menegang. Pria itu membalikkan tubuh Ayana, lalu memeluknya erat. "Sudah," lagi-lagi dia berbisik pelan di telinga Ayana.
Sedangkan preman yang sejak tadi Ayana pukul, sudah kehilangan kesadarannya. Tergeletak mengenaskan diatas jalanan.
"Kak Davin ngapain disini?" Ujar Ayana sambil melepaskan pelukan Davin.
"Kamu gak papa? " tanya Davin perhatian, menatap tepat pada manik mata Ayana yang sayu dan menyiratkan kesedihan.
Davin merapikan rambut Ayana yang sudah basah akibat keringatnya dan membersihkan keringat yang ada di wajah Ayana.
Emosi yang sejak tadi tersirat di wajah Ayana, berganti dengan tatapan lemah dan penuh airmata. Ayana kembali membalikkan tubuhnya, matanya melebar saat melihat preman yang masih tergeletak di jalan.
Perlahan perasaan takut dan khawatir mulai merasuki pikirannya, "dia gak mati kan? " tanya Ayana pada Davin.
Airmata kembali mengalir dari kelopak matanya. Davin kembali memeluk Ayana, tubuhnya yang kaku dan menegang menyiratkan, betapa dia ketakutan.
"Aku bukan pembunuh," ujar Ayana pada Davin yang setia memeluknya, menyalurkan kehangatan pada tubuh kaku Ayana.
"Pak," panggil Davin pada salah satu tukang ojek yang ada didekatnya. "Tolong bawa mereka ke kantor polisi, atau mungkin terlebih dahulu bawa dia ke rumah sakit terlebih dahulu," lanjut Davin, sambil menunjuk preman yang tergeletak itu.
Perlahan Davin melepaskan pelukannya pada Ayana, "tunggu sebentar," katanya pada Ayana, sambil tersenyum tulus.
"Ini nomor saya, Pak. Dan ini," Davin menyerahkan beberapa lembar uang seratusan dan sebuah kertas kecil berisi nomor teleponnya. "Saya percayakan ke Bapak," ujar Davin sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Teen FictionHidup itu pilihan itu kata mereka Lalu kenapa hidupku diselimuti kesedihan Disaat aku memilih bahagia??