Dua jam berlalu sejak Ayana, Esya dan Maria tiba di apartmen Mita. Hari ini keempatnya sibuk mengerjakan makalah biologi yang memang ditugaskan secara berkelompok.
Makalah tentang Jamur yang sedang mereka kerjakan sudah hampir selesai. Setelah tadi berebut tentang siapa yang akan mengetik, padahal pada akhirnya mereka saling berbagi tugas.
"Mita, ambilin minum, dong," rengek Maria dengan wajah memelas yang malah terlihat menyebalkan.
Mita mengangguk dan mengajak Ayana ke dapur.
"Sya, istirahat dulu. Nanti mata lo perih, terlalu lama lihat layar laptop," kata Ayana setelah kembali dari dapur dengan nampan berisi cemilan.
"Iya, lagian tinggal penutup dan daftar pustaka, nanti biar Maria yang ngerjain. Dari tadi kerjaannya ngesot gak jelas," ujar Mita sembari mengisi jus jeruk ke dalam empat gelas."Iri bilang Sahabat!"
Mita mendengus kesal, sedangkan Ayana terkekeh kecil dan Esya tersenyum sambil melepas kacamata yang biasa gadis itu gunakan, jika sedang belajar.
Keempatnya memang memilih duduk di atas karpet dengan meja di tengah.
Maria langsung meletakkan kepalanya di bahu Ayana yang duduk disebelahnya."Kita udah jarang ngumpul kan," ujar Maria seolah bertanya dan memberikan pernyataan disaat yang bersamaan.
"Sibuk." Mita menyeruput jusnya setelah mengucapkan satu kata itu.
"Sejak Ayana datang, kita seolah-olah jadi dua geng. Gue sama Esya, terus lo sama Ayana. Dan gue gak suka."
Esya langsung menatap Maria yang masih bersandar di bahu Ayana. Maria memang tipe manusia limited edition, lihat saja, gadis itu sedang menyinggung Ayana tetapi dengan santainya bersandar di bahu Ayana.
"Maksut lo apa, sih? Secara gak langsung ucapan lo itu bisa nyinggung perasaan Ayana," ucap Mita sengit, ia tidak suka dengan ucapan Maria.
Ayana masih terdiam, tidak tahu harus memberikan respon apa. Ingin marah, tetapi ucapan Maria ada benarnya. Ingin minta maaf, tetapi dibagian mana salah dirinya?
"Lo gak boleh ngelak, Mita. Ucapan Maria memang benar, kan? Lo jadi sibuk, gak tahu sibuk ngapain. Buktinya sejak Ayana datang, gue bisa ngitung berapa kali kita berhubungan layaknya sahabat. Lo tahu, gak? Maria bertengkar lagi dengan abangnya dan lo ada tanya keadaan dia?"
Ayana memang selalu cuek saat orang mengatainya, menjelek-jelekkannya bahkan memfitnahnya. Ayana selalu berkata 'gue gak peduli' disaat orang lain menanyakan pendapatnya tentang hal itu, tetapi itu semua bohong.
Bahkan, walau hanya satu kata yang orang ucapkan tentangnya, gadis itu memikirkannya dan selalu bertanya pada dirinya sendiri 'apa gue memang seperti itu?'
"Sorry, Ya, jika ucapan gue ini nyakitin lo, tapi inilah faktanya." Esya menatap retina Ayana lekat.
"Ya!" panggil Maria yang sejak tadi terdiam, gadis itu kembali meluruskan tubuhnya dan menatap Ayana serius. Untuk orang yang jarang serius, melihat Maria seserius ini, menimbulkan kekhawatiran di hati Mita, takut Ayana semakin disakiti.
"Gue suka Rean."
Deg.
Jantung Ayana berdegup dua kali lebih cepat, "terus?"
"Sebagai seorang sahabat,-" Maria menghentikan ucapannya sebentar, setelah menekankan kata sahabat, "gue mohon jauhin Rean."
"Gue gak pernah dekatin dia," elak Ayana, tidak terima dengan ucapan Maria.
Maria mengedikkan bahunya, "gue udah bilang tentang perasaan gue, jangan jadi penghianat, makhluk paling hina bahkan dari seekor anjing."
"Jadi, kalo Rean yang dekatin gue?" tantang Ayana.
"Lo bisa mikir, kan? Lo pasti tahu apa yang pantas lo lakuin."
"Entahlah, gue minta maaf, dia sangat baik. Sulit untuk mengabaikannya," ujar Ayana lirih.
"Secara gak langsung, lo bilang kalo lo gak mau jauhin Rean dan tidak menghargai perasaan Maria," timpal Esya.
"Udah! Persahabatan dan perasaan dua hal yang berbeda. Gue gak mau ikut campur, tapi sebagai sahabat gue cuma mau untuk kalian jangan bertengkar hanya karena laki-laki," kata Mita menengahi suasana tegang yang sejak tadi menyelimuti mereka.
Ayana terdiam mendengar ucapan Mita. Hatinya sakit mendengar semua ucapan Maria dan Esya, tapi sejak kapan dia seplin-plan ini.
"Lagian lo udah punya Brian, jangan egois dengan menginginkan keduanya!" Maria berlalu menuju dapur setelah mengucapkan hal itu.
"Gue minta maaf untuk semua yang udah gue lakuin, juga kehadiran gue yang hancurin persahabatan kalian. Mungkin kita hanya bisa hanya teman bukan sahabat. Dan soal makalah ini, biar gue yang lanjutin." Ayana membereskan laptop yang sebenarnya adalah milik Brian.
"Gue pamit Mita, Sya."
***
"Kenapa nunduk?" tanya Brian menghentikan langkah Ayana.
Gadis itu langsung berbalik dan menatap Brian heran, hubungan keduanya sudah membaik sejak semalam.
"Kenapa nunduk?" tanya Brian lagi.
"Capek," bohong Ayana, gadis itu tidak menangis hanya saja retinanya jadi terlihat sayu.
Brian tersenyum dan menarik Ayana menuju tangga darurat. Ayana memang masih berada di lantai apartmen Mita, hendak naik kelantai tujuh yang berarti dua tingkat diatas apartmen Mita.
"Ayok!"
"Ada lift Kak, jangan aneh-aneh, deh!"
Ada berapa anak tangga yang akan mereka lewati jika menggunakan tangga darurat ini, pasti cukup untuk membuat orang untuk ngos-ngosan.
"Ayok!" Brian bahkan menarik Ayana dan memaksa Ayana menaiki tangga dengan setengah berlari.
"Kamu ibaratin setiap anak tangga yang kamu lewati adalah setiap rasa sakit, kecewa dan hal buruk lainnya yang pernah kamu terima selama enam belas tahun hidup kamu. Dan lantai tujuh adalah titik tertinggi dimana kamu bisa melewati itu semua."
"Ayok, Ya. Lebih cepat, semakin cepat kamu melewatinya semakin singkat dia menyakitimu."
Ucapan Brian seolah-olah memacu semangat Ayana. Setiap gadis itu melewati satu anak tangga, hatinya berseru lega, dia sudah melewati satu masalah hidupnya.
"Tapi ingat, Ya. Tangga ini licin dan mudah membuatmu jatuh. Kamu harus cepat dan selamat. Jika kamu jatu–"
"Arghh."
Ayana berteriak saat tiba-tiba kakinya terpeleset, dengan sigap Brian menarik tangan Ayana dan membawa tubuh gadis itu kepelukannya.
"Saat kamu jatuh, semua percuma. Kamu akan mendapat rasa sakit yang lebih dan itu tidak baik. Hati-hati, teliti dan cepat. Anggap saja licinnya lantai ini adalah orang yang ingin menjatuhkanmu, jika kamu jatuh mereka akan bahagia."
Deru nafas keduanya saling memburu, Ayana masih setia dalam pelukan Brian setelah berlari cepat tadi. Brian meletakkan dagunya dipuncak kepala Ayana dan semakin mengeratkan pelukannya.
Brian tahu alasan Ayana terlihat sedih tadi, Mita menelponnya dan kebetulan Brian sudah ada di lobi gedung apartmen itu.
"Untuk itu aku butuh kamu, saat aku hampir jatuh. Aku butuh kamu sebagai pelindung," balas Ayana lirih.
Brian tersenyum hangat, laki-laki itu melepaskan pelukannya dan menatap lekat pada manik mata Ayana. Dengan lirih laki-laki itu berkata, "ada aku, jangan khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Teen FictionHidup itu pilihan itu kata mereka Lalu kenapa hidupku diselimuti kesedihan Disaat aku memilih bahagia??