[AYANA_33]

415 47 0
                                    

Jangan lupa bintangnya kak🙏

Tidak ada yang dapat memutar ulang waktu. Semua yang terjadi detik ini tidak akan mungkin dapat terulang. Dan penyesalan selalu datang di akhir cerita. Itulah hukumnya. Hari ini kamu dapat tersenyum bahagia, dan bukan berarti senyum itu akan abadi.
Hal yang sama terjadi pada Brean, cowok yang diagung-agungkan di sekolahnya. Cowok yang disandangkan dengan gelar jenius. Cowok dengan kadar ketampanan di atas rata-rata. Cowok dengan wajah dingin, namun berhati lembut. Cowok dengan beribu cerita di atas tiap langkah tegas yang dia bawakan.

Seandainya. Yah... kata seandainya. Kata sederhana namun mengandung beribu penyesalan. Seandainya aku begini, seandainya aku begitu, atau seandainya dan seandainya. Penyesalan yang datang itu terkadang membuat seseorang menyalahkan dirinya sendiri, atau mungkin orang lain dan yang lebih parahnya adalah ketika dia menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpanya.

"Andra!" panggil Brean dengan penuh penekanan, sejak tadi Andra menggodanya dengan kalimat, 'cinta segitiga lagi'. 

"Damai, Bro," jawab Andra sambil tertawa kecil dan memandang Brean dengan wajah jenaka.

"Lo udah pindah, nih, curut ngapain ikut?"

"Ehh... tai. Bangke emang lo! Udah enak gue jengukin," ujar Moriz sambil menatap Brean sengit.

"Gak ada yang minta."

Skakkmat. Moriz terdiam. Moriz itu salah satu anggota The king. Dan selalu menempel dengan Andra. Wajar jika dimana ada Andra di situ ada Moriz.

"Sejak kapan mau jengukin orang harus minta izin dulu?" Kali ini Andra yang bicara, soalnya kasihan dengan Moriz yang sejak tadi diusir oleh sang sohib, Brean.

Brean diam, tidak lagi membalas ucapan Andra, toh berdebat dengan keduanya tak akan menambah kepintaran Brean. Brean memilih kembali membaringkan tubuh dan memejamkan matanya.

Sejenak ketiganya hening. Tidak ada suara sedikit pun, hingga tiba-tiba pintu terbuka, beruntung Brean sudah memejamkan matanya dari tadi, jadi tidak ada hal yang menjanggalkan yang terjadi di antara ketiganya.

"Ehh, tante," ujar Andra segera bangkit dari duduknya dan menyalam Riana, bunda Brean dan Brian. "Hei, Bro!" lanjutnya sambil melakukan tos ala laki-laki dengan Brian yang berada disamping Riana. Moriz juga melakukan hal yang sama.
"Udah lama disini?" tanya Brian pada kedua teman lamanya ini. Mereka berempat duduk di sofa ruangan tempat Brean dirawat.

"Lumayan," balas Moriz singkat, entah mengapa dia tidak pernah menyukai Brian. Walaupun Brean ketus dan dingin, tapi Moriz lebih memilih Brean ketimbang Brian.

Lama berbicara mulai dari hal penting sampai hal yang tidak penting, bahkan Brian juga bertanya alasan Moriz dan Andra kembali ke sekolah mereka. Dan dijawab dengan alasan yang tidak masuk akal oleh Moriz, kangen makanan kantin sekolah, katanya.

Brian yang juga paham atas perilaku Moriz, tidak lagi bertanya melainkan mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Sedangkan Riana, sekali-kali dia ikut bicara, dan lebih fokus pada ponselnya. Belum juga dia menyapa Brean, tapi Riana sudah terlebih dahulu pamit pulang duluan.

Moriz meringis dalam hati. Bukan rahasia lagi bahwa orangtua Brean, lebih menyayangi Brian. Tetapi akan selalu ditepis oleh Brean, dengan ucapan mereka diperlakukan adil. Brean itu misteri, hanya Asya yang bisa memecahkan misteri itu, itulah yang selalu Moriz yakini dalam hatinya.

"Sayang, bunda pulang dulu. Ayah kamu udah nelpon bunda dari tadi," ujar Riana sambil berdiri dan mengelus rambut Brian pelan sambil tersenyum, "tante duluan," ucapnya lagi dengan senyum menghias wajahnya yang sedikit menua, namun tetap terlihat cantik.

Riana beranjak dari tempatnya berdiri, sebelumnya dia menatap wajah lelap Brean dengan tatapan datar. Tidak ada yang tahu arti tatapan itu, Brian saja yang sudah mengenal bundanya sejak lahir, tidak paham arti tatapan itu. Terkadang itu terlihat penuh luka, atau penuh kasih sayang yang terbalut amarah.

Andra meringis dalam hati. Tidak paham dengan jalan pikiran Brean, bagaimana mungkin dia terlihat baik-baik saja, saat ada Bundanya di sini. Brean bisa terlihat seperti orang yang tidak sadar, tidak ada gerak sedikit pun. Sepertinya Brean tidak hanya menyandang gelar jenius, dia juga bisa dipanggil Raja drama.

"Riz, lo kenapa? Kalo gue ada salah, gue minta maaf. Jangan gini, lo kelihatan banci, tahu gak?"

Suara Brian memecah keheningan yang terjadi sepeninggal Riana. Hal itu menghentikan pikiran Andra yang sudah berkeliaran jauh tentang hidup Brean.

"Gue kenapa? Maksud lo banci, apa?" suara Moriz sedikit meninggi, tidak terima disebut banci.

"Gak usah nyolot! Dari tadi gue diam karena ada nyokap di sini," jawab Brian dingin, wajahnya berubah ketus, bahkan dia melirik Moriz sinis.
"Suka-suka gue lah! Mulut-mulut gue!"

Kali ini Brian benar-benar tidak terima, Moriz tidak menghargainya sama sekali. Brian menarik nafas gusar, emosinya memuncak hingga ke ubun-ubun. Sebisa mungkin Brian meredam emosinya, biar gimana pun Moriz adalah temannya, dulu.

"Gue anggap ini selesai, Riz. Biar gimana pun kita adalah teman," kata Brian dengan nada yang lebih bersahabat.

"Kapan lo jadi teman gue?" Moriz berucapa dengan nada ringan, seolah-olah ucapannya sama sekali tidak memiliki efek pada siapa pun.

Brian berdiri dan menarik kerah baju Moriz. "LO MAU APA SEBENARNYA?" bentak Brian semakin mengeratkan genggamannya pada kerah baju Moriz.

Moriz tersenyum sinis, sedang Andra hanya menatap keduanya jengah. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya Andra juga tidak menyukai Brian. Moriz menarik tangan Brian yang berada di kerah bajunya. Kemudian menghempas tangan Brian kasar.

"SEHARUSNYA GUE YANG NANYA SAMA LO! UNTUK APA LO DISINI? SEDANGKAN LO ADALAH PENYEBAB BREAN SEPERTI INI!" Moriz berteriak tepat di depan wajah Brian, dan menarik kerah baju Brian seperti yang laki-laki itu lakukan padanya.

Brian terdiam. Tidak ada kata yang terucap dari bibirnya.

"Seharusnya lo malu datang ke sini, Brean gak ada salah sama lo! Tapi lo, lo adalah penghianat! Sumpah gue jijik lihat muka lo! Seandainya lo gak hianatin Brean, dengan diam-diam jadian sama Asya, mungkin Brean,–" Moriz menunjuk Brean dan memberhentikan ucapannya, tangannya juga melepas kerah baju Brian. "Gue gak akan kehilangan sahabat gue, Brean gak akan tertidur selama ini!"

Andra tetap memilih diam dengan melipat tangannya di depan dada. Senyum sinis terpatri di bibirnya, Andra sama emosinya dengan Moriz, tapi dia juga tidak ikut campur, takutnya Andra dan Moriz tersulut emosi dan menghabisi Brian saat ini juga.

"Lo gak tahu apa-apa," ucap Brian lemah, wajahnya menunduk, apa yang Moriz ucapkan tidak benar semuanya, tapi juga tidak salah.
"Gue udah ngaku salah, gue udah minta maaf, dan udah ngelupain Asya. Gue janji gak bakal ganggu mereka lagi," lanjut Brian dengan tenang, raut wajahnya menandakan keseriusannya.

"Bagaimana kalo gue yang ganggu hubungan lo dengan dia."

***

Yuhuuu...
Up lagi...
Jangan bosan yah nungguin cerita ini, maaf authornya suka labil🙏

Kira-kira itu siapa yang bicara?
Apa Moriz?  Atau Andra?  Atau mungkin Brean? 

Terus Asya siapa?
Serius gak penasaran lanjutannya?

Nantikan yah🙏

AYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang