[AYANA_44]

319 27 0
                                    

sejauh apa pun lo mencoba menepis luka dulu maupun yang akan datang, luka itu akan tetap ada dan jadi bagian dari kisah lo.

*

**

"Lo udah paham sudut-sudut istimewa?" tanya Rean sambil membolak-balik buku panduan olimpiade milik Ayana, yang dia pinjam dari Perpustakaan.

Ayana terdiam sebentar, mencoba mencari kepingan-kepingan ingatan di otaknya. Setelah beberapa saat, gadis itu menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Rean.

"Lo belajar apa ajah dua bulan ini?" sindir Rean dengan raut kesal, pasalnya Ayana masih banyak tidak menguasai materi. Padahal waktunya hanya tiga hari lagi.

Ayana terdiam. Maria bilang Rean itu pendiam, Esya bilang Rean itu gak suka nyinyir. Dan faktanya Rean jauh dari kata pendiam dan orang dengan mulut ternyinyir nomor satu di Nusa Bangsa, menurut Ayana.

"Makanya kalo belajar, yah, belajar. Jangan pacaran. Sekarang yang repot gue," gerutu Rean dengan wajah sengitnya.

"Lo sendiri yang mau, njir!" kesal Ayana, tapi gadis itu hanya berani berbicara di dalam hati.

"Hafal! Gue kasih waktu lima menit," ujar Rean tegas, laki-laki itu meletakkan buku yang sudah dibuka tepat di halaman yang membahas tentang Sudut-sudut istimewa di depan Ayana.

Ayana mulai membaca dan mencoba mengingatnya. Sebenarnya cukup sederhana dan mudah, namun membingungkan. Mudah, karena semua nilainya sudah ditentukan. Membingungkan, karena ada tiga bagian yang harus dihafal yaitu sinus, cosinus dan tangen. Dan nilainya hampir sama, jadi cukup rumit.

"Tangen 45°?"

Rean menutup buku yang Ayana baca dan segera mengajukan pertanyaan.

Ayana berpikir sebentar, "belum hafal, rumit tau!"

"Makanya otak digunain, kalo cara hafal lo masih ngikutin cara hafal anak sd, sampai kiamat lo bakal bingung," ujar Rean sarkas.

"Lo pasti hafal satu-satu, kan?" tanya Rean.

Ayana hanya diam, Rean itu jenius. Jadi orang-orang dengan otak terbatas, seperti Ayana, mengalah saja.

"Punya mulut, kan, Sya?" tanya Rean lagi, laki-laki itu bingung. Menurut Rean ucapannya tidak terlalu kasar, tapi gadis di depannya ini sudah terdiam dan menunduk.

Ayana mendongakkan kepalanya, "Ayana, bukan Sya or Lesya!"

"Nama lo masih Alesyana Ladeera, kan?"

Ayana mengangguk, "tapi gue gak suka lo panggil, gitu!"

"Lo gak mau dipanggil Lesya, karena masa lalu lo, kan? Seandainya lo tau, sejauh apa pun lo mencoba menepis luka dulu maupun yang akan datang, luka itu akan tetap ada dan jadi bagian dari kisah lo. Bukan tentang lo yang jadi Ayana, lo bisa menjadi orang baru yang lepas dari semua duka yang ditanggung Lesya, yang merupakan lo sendiri."

"Atau saat lo jadi Ayana, lo gak bakal punya duka seperti Lesya. Besok atau kapan pun itu, lo pasti bakal nangis dan terluka lagi. Setelah itu lo bakal ganti nama panggilan lagi, jadi Ladeera, Deera, or maybe Ana. Sebenarnya itu cukup sederhana untuk kita perdebatin, tapi gue cuma mau, lo punya persiapan untuk terluka lagi. Jangan gantungin diri lo, sepenuhnya kepada Brian atau teman-teman lo itu. Mereka cuma manusia dan pasti perasaannya bisa berubah seiring berjalannya waktu."

"Intinya?" tanya Ayana saat Rean berhenti berbicara, gadis itu tidak nyaman dengan pembahasan mereka saat ini. Namun hati kecilnya tersentuh dengan semua ucapan Rean.

"Gue akan tetap panggil lo Lesya, agar lo selalu ingat luka yang pernah lo alami dan punya persiapan jika nanti lo dihadapin dengan luka yang lebih sakit lagi." 

Rean terdiam sebentar, menatap Ayana dengan lembut. Laki-laki itu mengelus rambut Ayana dengan penuh kasih, "gue gak suka lihat lo nangis, Sya. Jadi lo harus tetap kuat."

Ayana terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Hatinya berdenyut ngilu, saat melihat bola mata Rean yang memerah. Untuk pertama kalinya, Rean menangis di depan orang.

Rean bukan laki-laki tanpa luka di hatinya. Laki-laki itu juga terkejut, ketika tahu kisah hidup Ayana yang hampir sama dengannya. Namun dia lebih beruntung, karena Rean tidak sampai dapat hinaan dari orang lain, kecuali kedua orangtuanya. Ayana pernah dibully satu sekolah, hingga gadis itu memilih pindah ke sekolah lain.

Rean segera menghapus air matanya dan kembali fokus pada buku di depannya. Ayana tahu, laki-laki itu sedang mencoba mengalihkan fokusnya, mungkin laki-laki itu belum cukup yakin untuk membuka diri pada Ayana.

"Jadi, untuk menghafal ini dengan cepat lo bisa pakai pemisalan," ujar Rean.

Ayana mengangguk, "pemisalan, caranya?"

"Misalnya kita pacaran–"

"Kenapa harus kita, gue punya pacar," potong Ayana dengan cepat.

"Suka-suka gue, kalo lo gak terima, gue gak lanjut," kesal Rean.

"Oke," ucap Ayana pasrah.

"Gue ganti, jadi misalnya lo pacaran sama seseorang yang kita panggil dengan kata doi."

Rean terdiam, menatap buku dengan wajah serius.

"Sinus 0° sama dengan 0, itu dimisalin lo tanpa si doi."

"Gue tanpa Brian pasti ngerasa kosong, jadi nilai Sinus 0° adalah nilai gue tanpa Brian," ujar Ayana mencoba memahami dan menyimpannya di memori otaknya.

Rean mengangguk, walau sedikit kesal, "nilai cosinus 0° adalah 1, dimisalkan dua orang yang pacaran pasti menyatu."

"Gue sama Brian pacaran dan kita menyatu dalam satu komitmen, berarti nilai cosinus 0° sama dengan nilai gue sama Brian yaitu satu," tutur Ayana dengan serius.

"Tangen 0° adalah tak terhingga, dimisalkan rasa cinta lo sama si doi," kata Rean tetap menggunakan kata doi, sedikit kesal saat Ayana selalu memisalkan dirinya dan Brian.

"Rasa cinta gue sama Brian itu gak bisa diukur, jadi nilai tangen 0° adalah tidak terhingga," terang Ayana.

Rean mendengus, "lo bucin atau apa, sih? Alay banget."

"Suka-suka gue," ujar Ayana membalikkan ucapan Rean.

Rean menatap Ayana kesal, "nanti kalo ditanya untuk 90°, lo balik ajah nilainya, misalnya jika 0, yah jadi 1. Paham gak?" tanya Rean mengalihkan pembicaraan.

Ayana mengangguk, "kecuali tangen, kan? Nilai tangen itu sinus dibagi cosinus, kan?"

"Iyah, dan untuk kuadran berikutnya, lo cuma perlu perhatiin posititif dan negatifnya," tambah Rean. 

Ayana mengangguk paham. Retinanya menatap buku yang kembali dia buka, gadis itu mulai memperhitungkan antara waktu dengan materi yang harus dia pelajari. Hingga sesuatu yang mengganjal timbul di otaknya.

"Tapi, dari mana lo tahu tentang gue, maksutnya tentang nama gue dan hal-hal lain yang lo tahu. Sepertinya lo tahu banyak tentang gue," kata Ayana memecahkan keheningan di antara mereka berdua, ditengah sepinya Perpustakaan sekolah.

Rean mengalihkan tatapannya dari buku yang laki-laki itu pegang. Rean menatap lekat wajah putih berisi milik Ayana, kemudian retinanya berhenti tepat di manik mata sendu milik gadis didepannya ini.

"Mungkin di sini takdirlah yang bekerja, gue memang pernah hampir ingin cari tahu, tapi semua hal yang berkaitan dengan lo, datang sendiri menghampiri gue."

***

AYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang