[AYANA_42]

319 28 0
                                    

Tidak terasa setelah sekian lama mengikuti pelatihan olimpiade, lomba itu akan diadakan satu minggu lagi. Ayana merasa sedikit takut dan bimbang, karena selama ini waktunya lebih banyak dia habiskan bersama Brian, hingga lupa belajar.

Ayana meremas roknya dengan kuat, di depannya sudah ada Pak Teo, guru yang mengurus bidang kesiswaan. Hari ini Ayana akan diberi soal untuk melihat sejauh mana persiapannya.

"Baca dulu, kemudian coba jawab," kata Pak Teo tak terbantahkan, tangannya meletakkan dua lembar kertas di meja, tepat di depan Ayana.

Ayana tersenyum kecil dan mengangguk. Perlahan Ayana mengambil kertas itu dan menatapnya serius, dia mulai membaca soal nomor satu.

Ayana masih dapat menyelesaikannya hingga ke nomor tiga, kemudian saat membaca soal nomor empat, Ayana mulai bergerak gusar. Otaknya mulai berkelana, seingatnya dia pernah membaca tentang turunan trigonometri.

"Susah? Sudah berapa soal?" tanya pak Teo sambil mengalihkan fokus dari laptopnya, matanya menatap ke lembar jawaban yang ada di depan Ayana.

"Ini sudah lima belas menit, tapi kau hanya bisa menyelesaikan tiga soal? Apa saja yang kau lakukan selama ini? Ahh, iya, kau sibuk pacaran dengan Brian yang diminta jadi pendampingmu belajar, kan?"

Sudah, Ayana menundukkan kepalanya. Dulu, dia tidak secengeng ini, tapi saat ini bahkan retinanya sudah berkaca-kaca. 

"Kau–"

Ucapan pak Teo terhenti ketika seseorang datang.

"Permisi, Pak!"

Ayana mendongakkan kepalanya dan retinanya langsung dihadapkan dengan retina legam milik laki-laki,  yang kemarin malam membuat jantungnya berpacu cepat.

"Silahkan duduk, Rean." Pak Teo tersenyum menatap Brean. Ayana tersenyum kecut.

Brean duduk di kursi kosong di samping Ayana, yang berada di depan pak Teo. Mereka bertiga sedang berada di salah satu meja di perpustakaan.

"Rean, bapak minta kamu ke sini karena bapak ingin minta tolong, siswi di samping kamu ini adalah perwakilan sekolah kita untuk olimpiade jurusan matematika. Tapi, lihat saja, sudah lima belas menit dan dia hanya menyelesaikan tiga soal. Sebenarnya selama ini dia dibimbing oleh kembaran kamu, Brian. Tetapi, salah seorang siswi di sekolah ini memberitahu saya, bahwa keduanya malah pacaran, dan lihat ini buktinya," terang pak Teo panjang lebar.

Ayana kembali menundukkan kepalanya, dia ingin membela diri sendiri, tapi dia benar salah. Ayana sudah lalai menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.

Brean tersenyum tipis melirik Ayana dari ekor matanya. "Angkat kepala lo," ujar Brean datar.

Ayana mendongakkan kepala, namun retinanya mengalihkan tatapan, dia tidak ingin menatap Brean ataupun pak Teo.

"Iya, Pak. Saya bersedia."

Ayana membulatkan retinanya. Kini, dia menatap Brean lekat. Ayana kaget mendengar ucapan Brean. Apa-apaan maksut lelaki ini.

"Bapak minta tolong sama kamu, Rean. Lomba akan diadakan seminggu lagi, tetapi masih banyak materi yang belum dia pahami. Seandainya kamu ada saat pendaftaran, maka gelar juara nasional sudah pasti ada di tangan kita." Tampak nada menyesal di akhir kalimat pak Teo.

"Ohh hell! Jadi gue cuma jadi pengganti," batin Ayana kesal, namun tidak berbuat apa pun selain diam.

"Kamu bisa pergi, Rean. Bapak masih ada keperluan dengan anak asuhmu ini," ujar Pak Teo dengan sedikit kekehan di akhir kalimat.

Ayana melirik Brean yang perlahan menghilang dari pandangannya, kemudian kembali memfokuskan perhatiannya pada Pak Teo. Ayana masih bingung dengan sikap Brean. Pertama, pada saat awal mereka jumpa, mengapa ucapan Brean seolah-olah mereka sudah pernah berjumpa?

Mereka memang pernah berjumpa sebelumnya, tapi bukankah saat itu Brean dalam keadaan kritis? Kedua, ucapan Brean kemarin malam, bukankah itu sama sekali tidak masuk akal? Ketiga, mengapa dia mau mengajari Ayana, bahkan tanpa berfikir dua kali?

"Ini, baca!" perintah pak Teo dan menghentikan segala pertanyaan yang berkeliaran di otak Ayana.

Ayana meraih sebuah buku yang ditempeli potongan-potongan berita dari majalah. Ayana mulai membaca halaman pertama yang berjudul, Brean Alexander, bocah cilik dengan otak jeniusnya. Halaman kedua, Menolak lompat kelas, berikut data si Jenius zaman milenium. Halaman ketiga, Brean Alexander penyandang gelar jenius ternyata seorang introvert.

Buku itu berisi sekumpulan berita yang dikutip dari majalah, kemudian ditempel dalam satu buku dan semuanya tentang BREAN ALEXANDER. Buku seratus lembar, dan semuanya tentang Brean, sudah cukupkan untuk jadi bukti bahwa Brean itu jenius.

"Itu alasan bapak meminta dia yang membantumu, bukan karena bapak tidak suka kau dekat dengan Brian. Aya, nasib sekolah kita ada di tangan kalian, sudah sepatutnya bapak melakukan ini, kan?" tanya pak Teo serius, tidak ada lagi nada sinis dalam ucapannya dan itu membuat Ayana tersentuh.

Ayana mengangguk, setuju dengan ucapan pak Teo.

"Brian juga ikut lomba dalam bidang kimia, sudah seharusnya dia fokus pada lombanya, kan? Bapak percaya bahwa kau bisa, itulah sebabnya bapak memilihmu yang notabenenya adalah siswi baru daripada banyak siswi maupun siswa yang banyak berminat dalam posisimu saat ini," lanjut pak Teo dengan senyum tipis, khas seorang ayah yang sedang menasehati putrinya. Dan lagi-lagi itu membuat Ayana tersentuh.

"Iya, Pak. Saya paham dan akan berusaha sebaik mungkin." Ayana berujar dengan mantap.

***

Ayana berjalan pelan menuju kelasnya, sembari mengamati murid yang sedang melakukan pelajaran olahraga di lapangan.

"Oii!" Brean menarik kerah belakang seragam Ayana. Sejak tadi laki-laki itu sudah menunggu Ayana di sana, tapi gadis itu sibuk menatap ke arah lapangan hingga tidak menyadari keberadaan Brean.

Ayana memberenggut kesal dan menatap Brean sengit.

Brean melepas kerah belakang Ayana, menarik tangan kanan Ayana dan meletakkan kertas yang sudah di lipat kecil di sana, kemudian berbalik pergi meninggalkan Ayana.

Ayana menatap kertas itu, membuka lipatannya hingga sebuah tulisan terpampang di sana.

Perpustakaan atau apartmen gue?
0822******** no gue, gue tunggu pilihan lo, satu menit dari sekarang!

Ayana segera merogoh ponselnya, segera menyalin dan memberikan jawaban lewat pesan. Tunggu, kenapa Ayana mau diperintah? Dan kenapa Ayana harus melakukannya.

"Arghh ... bodoh!" pekik Ayana kesal dan menginjak-injak kertas itu, sedang Brean hanya terkekeh geli melihat tingkah gadis itu.

***

AYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang