Ayana duduk di kursi didekat bankar rumah sakit. Airmata tak kunjung reda dari kelopak matanya. Dia tertunduk, belum ada satu kata yang keluar dari mulutnya.
Akhirnya, setelah sekian lama tertunduk, dia mendongak. Ayana tersenyum miris. Airmata bahkan tak ingin berhenti menetes.
"Enak yah jadi lo, kak. Gak perlu mikirin apapun. Gak perlu berhadapan dengan kejamnya dunia. Gue iri sama lo, kak. Gue juga pengen istirahat tapi gak mati persis sama lo," Ayana berucap lirih dan pelan.
Ayana memandang wajah Brean dengan mata berlinang airmata. Yah, dia mendatangi Brean setelah yang terjadi tadi.
Sebenarnya, dia ingin mendatangi apartemen Mita, tetapi Mita sedang pergi ke rumah orangtuanya. Dan Ayana tidak tahu dimana rumah Mita.
Dia ingin menemui Brian, tetapi ponselnya rusak akibat dilempar Natasha. Bahkan dia tidak tau sampai saat ini seperti apa bentuk ponselnya. Tidak mungkin ke rumah Brian, yang ada nanti dia akan mengganggu keluarga Brian.
Maria dan Esya, Ayana bahkan tidak tahu dimana tempat tinggal kedua temannya ini. Davin, tidak mungkin kesana. Davin tinggal sendiri, yang ada mereka akan jadi bahan gosipan tetangga.
Pulang ke apartemen, Ayana bahkan belum terfikir untuk kembali sampai detik ini. Dia masih setia memandangi lantai kamar Brean, sesekali memandangi wajah Brean yang sedang tertidur. Entah bangun kapan.
"Beberapa orang di dunia merasa mati karena kesepian, tetapi apakah orang yang mati pernah merasa kesepian?" Ayana bertanya pada Brean.
"Kalo situasi gini, kelihatan banget gak ada orang yang peduli sama aku. Bukannya aku egois, tetapi aku benar-benar butuh mereka, sekarang. Aku butuh teman, meskipun tidak dapat membantu, sekiranya mereka ada untuk memegang tangan ini dan berbisik kata, semangat."
Lagi-lagi Ayana menatap wajah Brean. Brean sama sekali tidak mirip dengan Brian. Dari segi apapun wajah mereka benar beda. Mungkin, hanya tinggi badan dan postur badan yang tegap, hanya itu yang mirip.
"Bangun dong, kak! Bantu aku sekedar mengucap kata semangat. Jangan buat aku semakin iri."
Ayana tersenyum kecut. Sejak tadi airmata tidak mau berhenti. Dia benci situasi ini.
"Aku benci situasi dimana aku tidak bisa mengendalikan keadaan, seperti saat ini."
"Enak banget yah, kak. Sampai-sampai kakak gak ada kepikiran gitu buat bangun. Aya gak tau sudah selama apa kakak terus tidur seperti ini, tapi yang jelas Aya pengen tidur seperti kakak. Nanti, kalo kakak bangun, kakak harus jadi teman aku yah. Soalnya mulai saat ini aku bakal sering datang kesini buat jenguk kakak atau untuk curhat," Ayana menyetop ucapannya. Mungkin, besok akan lebih sakit dari hari.
Ayana menjabat tangan Brean. "Teman," katanya sambil nyengir walau airmata masih keluar dari matanya.
"Teman baru, Aya pamit dulu. Udah lama disini. Bye, teman baru."
Ayana beranjak dari kursi rumah sakit. Suasana hatinya sedikit membaik. Padahal, Brean tidak melakukan apapun. Bahkan, tidak berucap satu kata apapun.
Brean alexander, saudara kembar Brian. Tetapi memiliki perbedaan yang sangat banyak. Dari aura saja jelas berbeda. Ayana belum mengenal Brean tapi dari aura dan rahang tegas Brean, Ayana menyimpulkan bahwa Brean itu adalah orang yang pendiam dan tegas.
"Ini cewek siapa sih? Kenal juga ngak, tapi datang-datang langsung nangis, mana bilang iri lagi, orang gila dasar!" batin Brean.
Brean memang sudah berhasil melewati masa kritisnya, dia sudah sadar sejak satu minggu yang lalu. Dan, secara medis sudah benar-benar pulih.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Teen FictionHidup itu pilihan itu kata mereka Lalu kenapa hidupku diselimuti kesedihan Disaat aku memilih bahagia??