Setenang-tenangnya kita dengan seseorang, jelas batin kita akan lebih tenang apabila bersama dengan Tuhan.
***
Ayana menatap Rean yang masih menikmati makan malamnya. Ada pertanyaan yang sejak tadi ingin sekali gadis itu tanyakan. Sekarang sudah pukul delapan malam dan mereka baru menyelesaikan sesi belajarnya.
Makan malam mereka cukup sederhana, hanya nasi goreng buatan Ayana dan telur ceplok sebagai lauknya. Gadis itu sengaja memasakkan makan malam untuk mereka berdua, karena tadi siang Rean memesan makanan dari luar sekaligus membayarnya.
Malam ini adalah malam terakhir mereka belajar, karena besok adalah penentu dari semua perjuangan Ayana. Dan dalam dua hari, Ayana sama sekali tidak menggubris keberadaan Brian. Tidak membalas pesan, tidak mengangkat panggilan, bahkan berlalu begitu saja ketika Brian ada didekatnya.
'Aku ingin sendiri untuk beberapa waktu ke depan, kuharap kamu mengerti.' Hanya kalimat ini yang Ayana ucapkan ketika Brian menyusul Ayana hingga ke apartmen dan meminta maaf.
Brian tentu saja memaksa, tetapi alasan untuk belajar olimpiade cukup membuatnya untuk berhenti memaksa. Ayana sudah memaafkan Brian, laki-laki itu juga berkata bahwa semua yang dia ucapkam bukan dari hatinya. Itu karena laki-laki itu sedang emosi saja dan Brian sangat menyesal. Namun yang membuat Ayana ragu untuk kembali memulai adalah Brian yang tidak mau menjelaskan siapa itu NR. Hal itu cukup mengganggu perasaan Ayana.
"Hm, Kak Rean, gue mau nanya, boleh?" tanya Ayana sambil merapikan piring bekas makan mereka.
Rean hanya mengangguk, kemudian meneguk air putihnya.
"Kira-kira Kakak tahu gak, siapa itu NR?"
Rean menaikkan sebelas alisnya, menatap Ayana heran, "Brian?" tanya laki-laki itu seakan memastikan bahwa pembicaraan ini berhubungan dengan Brian.
Ayana mengangguk. "Tahu, kan?"
"Ini sebenarnya bukan urusan gue, tapi gue kasih sedikit bocoran, Natasha Reindra," ujar Rean dengan wajahnya yang selalu terlihat serius.
"Hm, satu pertanyaan lagi," pinta Ayana dengan wajah yang dibuat semenyedihkan mungkin, tangannya disatukan didepan wajahnya.
"Gak ada." Rean segera berdiri meninggalkan Ayana yang masih terdiam di kursi tempatnya duduk.
"Nyebelin, dasar!" ketus Ayana pelan, tentunya tidak dapat didengar oleh Rean.
***
Pagi ini Ayana berangkat ke sekolah bersama Rean menggunakan mobil laki-laki itu. Dinasnya tersetrika rapi, lengkap dengan dasi serta almamater khas sekolah mereka. Ada topi juga, tetapi Ayana simpan di dalam tas, yang sebenarnya hanya berisi kotak pensil.
Rean memperhatikan wajah Ayana yang terlihat gugup, "lo gak mau pingsan, kan?"
Ayana mendelik sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Udah makan?"
Ayana mengangguk. Dia cukup gugup hari ini, karena sebentar lagi semua ilmu yang dia punya akan dicoretkan ke dalam sebuah kertas dan nilainya sebagai penentu, sejauh mana pengetahuan Ayana.
Rean menghentikan mobilnya di jalanan yang cukup sepi, kemudian meraih tas yang berada di bangku belakang. Laki-laki itu mengeluarkan sebuah earphone,menyambungkannya ke ponsel miliknya. Rean memasang lagu rohani yang sudah sengaja dia setel dalam satu album.
"Dengerin, biar lo tenang." Rean memasangkan earphone itu di telinga Ayana, Rean juga merapikan rambut Ayana yang sedikit berantakan karena earphone itu.
"Makasih." Gadis itu cukup terkejut dengan apa yang Rean lakukan. Namun, apa yang dilakukan Rean itu sangat menolong, karena setenang-tenangnya kita dengan seseorang, jelas batin kita akan lebih tenang apabila bersama dengan Tuhan.
Mobil kembali melaju menuju sekolah dalam hening. Kedua insan itu sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sesampainya di sekolah, Rean mengajak Ayana keluar untuk menemui siswa yang jadi perwakilan tiap mata pelajaran lainnya.
"Earphonenya gak usah di lepas," kata Rean yang berjalan di samping Ayana. Rean juga ikut sebagai pendamping para perwakilan sekolah, sebenarnya itu tugas guru, tetapi karena sekolah sedang sibuk mempersiapkan ujian untuk kelas dua belas, Rean diminta sebagai pendamping bersama kepala sekolah.
Ayana mengangguk sambil tersenyum. Semua peserta berkumpul di ruang kesiswaan. Jadi, mereka berdua berjalan menuju tempat itu. Sejujurnya, Ayana tidak cukup percaya diri berjalan di samping Rean. Dia terlalu sempurna.
Mereka semua akan berangkat menggunakan bus yang cukup besar, setiap pelajaran ada tiga perwakilan. Dan yang biasanya diperlombakan ada sembilan pelajaran. Sehingga total perwakilan sekolah ada dua puluh tujuh ditambah Rean dan sopir. Jadi ada dua puluh sembilan orang dalam bus ini, sedangkan kepala sekolah menggunakan mobil pribadi miliknya.
Ayana menatap Brian sebentar, laki-laki terlihat tampan dalam balutan almamater yang pas membungkus tubuhnya. Ketika Brian balas menatapnya, Ayana mengalihkan tatapannya pada yang lain.
"Gue duduk di samping lo, bisa?" izin Ayana pada Rean yang berjalan di sampingnya menuju bus. Mereka hanya berkumpul sebentar, Rean meminta semua peserta mengecek barang yang harus dibawa. Kartu peserta dan kartu pelajar dari sekolah, juga peralatan ujian. Setelah selesai, berdoa bersama. Kemudian berangkat.
Rean mengangguk dan menuntun Ayana duduk di kursi belakang sopir.
"Gue di dekat kaca, yah?" Ayana menyengir, sadar diri, sejak tadi dia banyak merepotkan Rean.
Lagi-lagi Rean mengangguk.
Keduanya duduk dengan tenang, menunggu yang lainnya duduk. Rean mengeluarkan headseat dari tasnya.
"Pinjam ponsel lo," pinta Rean pada Ayana, pasalnya earphone yang Ayana pakai tersambung langsung ke ponselnya. Dan ponselnya itu dipegang gadis itu.
Ayana mengerjap bingung, namun tetap memberikan ponselnya pada Rean. Ayana memperhatikan Rean, melihat laki-laki itu yang mengernyit ketika melihat lagu yang ada di ponsel Ayana, yang didominasi oleh lagu Exo. Hal itu membuat Ayana tersenyum kecil.
Ayana kembali bersandar, fokus pada lagu yang dia dengar. Namun fokusnya kembali pecah, saat Brian menepuk pundaknya.
"Ya!" panggil Brian dari belakang Ayana, laki-laki itu duduk tepat di kursi belakang kursi yang Ayana duduki.
Ayana membuka earphonenya, menoleh ke arah Brian, "apa?"
"Lo lebih milih duduk di samping dia daripada gue? Gue yang pacar lo, Ya, bukan dia."
Tidak ada angin atau hujan, Brian langsung berbicara penuh emosi, bahkan sampai menunjuk-nunjuk Rean dengan telunjuknya. Rean yang merasa terusik, ikut menoleh ke belakang. Ayana segera tersadar, gadis itu sudah bisa memperkirakan apa yang akan terjadi, jika saja dia berkeras duduk di samping Rean.
Ayana hendak melepas earphone yang dia kenakan, hingga suara tenang Rean mencegah gadis itu melakukannya.
"Gak usah dilepas!"
Ayana mengangguk mengerti, "makasih," lirihnya sambil tersenyum kecil. Gadis itu kini berpindah tempat duduk ke samping Brian. Walaupun hati kecilnya tidak ikhlas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Teen FictionHidup itu pilihan itu kata mereka Lalu kenapa hidupku diselimuti kesedihan Disaat aku memilih bahagia??