"LESYA!" Teriak Rean, kakinya berhenti bergerak dan menatap nanar tubuh Ayana yang tergeletak di tepi jalan.
"AYANA!" Rean mengalihkan tatapannya pada Brian yang ternyata sudah berdiri kaku di dekat gerbang sekolah.
Kedua laki-laki itu berlari mendekati tubuh Ayana yang tergeletak di pinggir jalan. Lukanya tak separah yang Rean bayangkan. Keningnya bocor, tangan kiri luka begitu juga kedua kakinya.
Rean segera menurunkan tubuhnya hingga jongkok di samping tubuh gadis itu. Di saat Rean ingin menggendong Ayana untuk segera dibawa ke rumah sakit, Brian datang dan mendorong tubuhnya.
"Dia pacar gue." Dingin, seolah menegaskan bahwa Rean tidak punya hak untuk ada di tempat ini.
Rean mengalah. Tentu saja, nyawa Ayana adalah yang utama saat ini.
Brian berlari membawa tubuh Ayana ke dalam mobil yang entah sejak kapan sudah ada di dekat mereka.
***
"Bagaimana, Dok?" tanya Rean saat dokter yang menangani Ayana keluar dari ruangan.
"Tidak ada luka berat, hanya tangan kirinya, itu pun tidak sampai patah tulang. Selain itu tidak ada bagian tubuh pasien yang terluka parah, atau kita bisa menunggu hasil rontgen dan pasien sadar untuk bisa lebih memastikan bahwa pasien tidak mengalami luka yang parah."
"Baik, dok. Terima kasih," ucap Rean dengan senyum tipis, Brian tidak ada di sini karena laki-laki itu sedang pergi ke toilet.
"Hm, mungkin pasien akan dirawat dua atau tiga hari di sini, agar kami bisa benar-benar mengontrol keadaannya," kata dokter wanita itu.
"Baik, dok."
"Pasien sudah bisa dijenguk, tetapi biarkan dia istirahat untuk menenangkan rasa syoknya. Kalau begitu, kami permisi."
Dokter bersama beberapa suster meninggalkan tempat itu, tepat dengan kemunculan Brian di ujung koridor.
"Gimana keadaan dia?"
"Tidak ada luka berat. Lo boleh masuk," balas Rean, dirinya tetap fokus pada ponsel ditangannya.
Brian melewati Rean dan memasuki ruangan tempat Ayana dirawat.
***
Rean melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sakit, mengetahui keadaan Ayana baik-baik saja, sudah cukup untuk menenangkan hati dan pikirannya.
Tujuan laki-laki itu adalah salah satu cafe yang jadi sumber uangnya selama ini. Rean bukan pemuda yang sukses di usia mudanya, cafe ini adalah pemberian kakeknya. Aset yang dirahasiakan dari keluarga, karena khusus diperuntukkan untuk Rean.
"Siang, Bos!"
Sapaan itu Rean dapatkan begitu kakinya menginjakkan kaki di pintu masuk cafe. Dulu, cafe ini diberi nama RECAFE oleh kakek dan neneknya, tetapi setelah keduanya meninggal, Rean mengganti nama cafe ini menjadi cafe MEMORELLA, karena baginya cafe inilah yang menyimpan banyak memori mulai dia kecil.
"Siang, teman saya sudah datang, kan?"
"Sudah, Bos. Mereka saya antar ke ruang pribadinya anda, seperti yang anda perintahkan," ujar laki-laki yang berumur sekitar dua puluh lima tahun itu dengan sangat sopan dan formal.
"Berasa tua, gue. Lo ngomongnya seformal itu lagi, siap-siap ajah angkat kaki dari memorella," ujar Rean dengan tegas, baginya Juan sudah seperti keluarga, lebih tepatnya saudara.
Tanpa menunggu tanggapan Juan, Rean segera menaiki tangga ke lantai dua, tepatnya ke ruangan pribadinya.
Andra dan Moriz yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya masing-masing, langsung menatap ke arah pintu. Di sana sudah ada Rean masih menggunakan baju sekolah yang terdapat bercak darah.
"Jadi, siapa yang mau jelasin lebih dulu?"
Rean duduk di sofa single dekat pintu, sedangkan Andra dan Moriz duduk di sofa panjang di depan Rean.
"Re, gue lihat dengan jelas mobil yang nabrak Ayana itu gak pake plat, juga kacanya bukan kaca biasa, karena gak tembus pandang. Ini sulit, sih, tapi menurut gue, ini itu udah direncanain," ujar Andra lebih dulu.
"Gue sempat nanya Esya, katanya Ayana itu mau ngambil flashdisk di apartnya. Nah, lucunya flashdisk itu ada di Mita, lalu pas Ayana mau pergi ngambil flashdisk itu, Mita kebetulan lagi ngembaliin buku yang mereka pinjam buat ngerjain file yang ada di flashdisk itu." Andra melanjutkan ucapannya, sesuai informasi yang dia dapat.
"Dan saat gue ngejar mobil itu pake motor ojek yang Ayana pesan, mobil itu udah menghilang gitu ajah," tambah Moriz. "Dan dari penjelasan Andra, seolah-olah orang yang ngerencanain ini sudah memperhitungkan semuanya. Mulai dari Mita megang Flashdisk tanpa sepengetahuan Ayana, kemudian Mita ngembaliin buku tepat saat Flashdisk itu dibutuhin. Kemudian Ayana pergi ke apartnya."
"Secara gak langsung, yang mainin drama ini pasti di antara Esya, Maria atau Mita."
"Atau Markus, bisa jadikan dia sengaja ngumpul flashdisk saat Mita pergi, karena dia udah tahu flashdisk itu ada di Mita," bantah Andra pada pendapat Moriz. "Atau salah satu dari teman sekelas mereka yang gak suka pada Ayana, bisa jadi Clara, karena katanya kedatangan Ayana mengancam posisinya jadi juara kelas juga juara paralel anak ipa."
"Lo gak lagi mencoba menutup mata dari Esya yang selalu neror Ayana, kan, Ndra?"
Skakkmat. Andra diam. Sekali Rean bicara langsung mematahkan setiap pendapat laki-laki itu.
"Gak, Re," kata Andra dengan berat hati.
Moriz mendengus, sudah sejak lama dia memperingatkan Andra untuk segera membuang perasaannya pada Esya, tapi ternyata sampai saat ini, laki-laki itu masih setia mencintai gadis itu.
"Tapi pendapat Andra bisa juga terjadi dan pendapat Moriz lebih berpotensi untuk dibenarkan. Namun, mereka gak mungkin ngerjain rencana serapi ini sendiri, minimal pasti ada orang yang bantu. Seandainya ucapan Andra benar, soal kaca yang tidak tembus pandang, itu pasti butuh dana besar."
"Pasti ada orang dewasa yang bantu, Re."
"Atau bisa jadi, orang ini yang punya dendam kepada Ayana, tetapi dia manfaatin kelabilan anak sma untuk mendapat informasi yang lebih valid dan tentunya mempermudah rencanya," tambah Moriz.
Ketiganya terdiam mencoba memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Selain itu, mereka juga butuh bukti untuk menemukan siapa sebenarnya dibalik semua yang menimpa Ayana. Mereka bertiga tahu teror yang biasa Ayana dapatkan, juga Esya yang sering memberikan note berupa ancaman untuk Ayana.
"Pendapat Moriz lebih masuk akal menurut gue, Re," kata Andra dengan raut serius di wajahnya.
"Mungkin, ini ulah orangtuanya Asya karena secara tidak langsung Ayana sudah merebut Brian dari putrinya. Dan yang lebih buat gue yakin, karena Esya ikut andil mengancam Ayana. Mungkin Esya yang memberikan setiap informasi kepada orangtua Asya, Esya itu kan sepupu Asya," pendapat Rean setelah mencoba menghubungkan bukti yang dia dapat dengan pendapat Moriz.
"Lalu, apa keuntungannya untuk Esya?"
"Uang. Lo jangan munafik Andra, lo tahu seperti apa keuangan keluarga Esya," ucap Moriz cepat.
"Atau, sesuatu yang lebih menjanjikan, beasiswa misalnya," ujar Rean lebih logis.
***
Kuy menebak, siapa kira²?
KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Teen FictionHidup itu pilihan itu kata mereka Lalu kenapa hidupku diselimuti kesedihan Disaat aku memilih bahagia??