[AYANA_39]

312 33 12
                                    

Stay with me until the end

kamu adalah duniaku. Pemilik detak jantung ini, obat untuk sakitku. Alasan untuk senyumku. Penenang untuk dukaku dan pencipta untuk semua sukaku.

***

Dua buah motor besar bergerak membelah jalanan kota. Brian tampak tampan dengan balutan hoodie yang tampak pas di tubuhnya. Brian membonceng Ayana menggunakan motor milik Ayana, sedang motornya digunakan oleh Alvin dan Mita.

Seperti yang mereka bicarakan tadi, malam ini dua pasang sejoli itu mengadakan double date dadakan. Tujuan mereka adalah salah satu pasar malam yang cukup terkenal di sekitar apartmen. Sekali-kali mereka memberikan kode agar jarak antara kedua motor tidak terlalu jauh.

Tangan Ayana melingkar erat di pinggang Brian. Dagunya diletakan di pundak sebelah kanan Brian. Bibirnya tersenyum, rasa hangat menjalar hingga ke sela-sela hatinya. Perutnya dipenuhi oleh kupu-kupu yang berterbangan di dalam sana.

"Dingin gak?" tanya Brian, sebelah tangannya terulur menggenggam tangan Ayana yang melingkar di perutnya.

Ayana memiringkan kepalanya, hingga wajahnya tepat di samping telingan Brian. Lagi-lagi gadis itu tersenyum, "sedikit," jawab Ayana.

Brian semakin mengeratkan pelukan Ayana di perutnya, "tahan, yah. Bentar lagi kita sampai," ujar Brian menatap ke arah kanan, hingga wajahnya langsung dihadapkan dengan wajah Ayana.

Ayana tampak cantik dengan hoodie yang senada dengan Brian pakai. Wajah gadis itu terlihat sangat manis di bawah pencahayaan remang lampu jalanan.
Brian tersenyum, dua lesung pipit yang menghias pipinya semakin menyempurnakan wajah tampannya itu.

Jarak antara pasar malam dengan apartmen memang tergolong dekat. Kini, dua pasang sejoli itu telah memarkirkan motornya di tempat yang aman. Brian menggandeng tangan Ayana dan mengajak Ayana masuk lebih dulu.

"Kamu gak mau gandeng tangan aku, Al?" tanya Mita sambil menunduk.

Alvin menatap Mita datar, sebenarnya dia cukup muak untuk melakukan date ini. Namun, demi pertemanannya dengan Brian dan Ayana, mau tidak mau, laki-laki itu setuju.

"Ada di tempat ini sudah membuat gue ingin muntah, apalagi menggandeng tangan lo!" Alvin berjalan pergi meninggalkan Mita, menyusul Ayana dan Brian.

Mita tersenyum miris. Dia terdiam mencoba mengontrol rasa kecewa di hatinya.

"Kak Al, kok, Mita ditinggal?" tanya Ayana yang tiba-tiba berhenti dan berbalik mencari temannya. Namun yang dia dapati, Mita yang terdiam di dekat motor parkir dan Alvin yang sudah berjalan meninggalkan Mita sendiri.

Alvin mengumpat pelan. "Mita, lo ngapain di sana? Sini," ujar Alvin lembut, jelas sangat berbeda jika hanya ada dia dan Mita. Munafik.

Mita tersenyum meredam matanya yang ingin menangis. Gadis itu berlari kecil menjumpai Alvin dan berjalan di samping laki-laki itu. Senyum selalu dia pertahankan di wajahnya, Ayana tidak boleh tahu seperti apa sebenarnya Alvin memperlakukan dirinya.

"Bagaimana kalo kita misah?" tanya Alvin yang sebenarnya cukup muak berada cukup dekat dengan Mita.

"Boleh," tanggapi Brian, " kita ke sana, kalian ke sana," lanjut Brian sambil mengarahkan tangannya.

Ayana sedikit tidak terima, judul jalan-jalan ini kan double date, tetapi jatohnya malah date sepasang. Ayana dan Brian ke arah kanan, sedangkan Alvin dan Mita ke arah kiri.

"Udah makan?" tanya Brian saat mereka melewati beberapa stand kuliner.

"Kita makan itu dulu, yok!" ajak Ayana menunjuk seorang penjual dengan gerobaknya.

"Mau berapa tusuk?" tanya Brian.

"Sepuluh tusuk, bisa, kan?" jawab Ayana seolah meminta persetujuan dari Brian.

Brian mengangguk dan memesannya sepuluh tusuk. Ayana menunggu Brian dengan duduk di salah satu kursi dekat penjual bakso itu. Ayana cukup tertarik dengan makanan ini, biasanya satu tusuk berisi empat bakso kecil. Bakso itu kemudian di panggang, seperti sate, tidak lama hanya untuk menyempurnakan warnanya saja. Kemudian, di siram dengan kuah kacang, dan diberikan saos dan kecap sesuai selera pembeli.

"Banyakin saosnya, Pak," ujar Ayana yang sedang memerhatikan kelincahan penjual itu dalam menyajikan jualannya. 

Brian pun mendekati Ayana dengan sebuah piring kecil berisi sepuluh tusuk bakso bakar itu. Brian duduk di kursi plastik sebelah Ayana.

"Buka mulutnya," ujar Brian sambil memegang satu tusuk bakso itu.

Ayana membuka mulutnya dan menerima suapan dari Brian.

"Gantian," kata Ayana dengan mengambil satu tusuk bakso, mendekatkannya ke mulut Brian, di saat Brian hendak melahap bakso itu, Ayana segera menarik bakso itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya sendiri.

Brian tersenyum sinis, sedang gadis di depannya malah tertawa kecil. Di saat Ayana tertawa, Brian menarik tangan Ayana dan memakan bakso yang tadi gadis itu genggam.

"Curang!" tukas Ayana.

"Bodo," jawab Brian kembali melahap bakso yang mereka beli.

Ayana mendengus kesal, namun tak urung dia tetap melanjutkan makannya.

"Udah makan, belum?" tanya Brian di sela-sela makannya.

"Ini, udah."

"Makan nasi, Yang," ujar Brian sambil membersihkan sudut bibir Ayana dengan ibu jarinya.

Ayana menggeleng, "tapi tadi udah makan roti."

Brian mengangguk, sepuluh tusuk bakso itu sudah ludas dan tentu saja lebih banyak dimakan oleh Ayana. Brian pergi sebentar membeli sebotol minum, setelah sebelumnya pamit kepada kekasihnya itu.

Brian kembali dan memberikan sebotol minum itu pada Ayana, gadis itu meneguknya sedikit, kemudian memberikannya pada Brian. Brian meneguknya hingga tinggal setengah. Ayana memerhatikan jakun milik Brian yang naik turun saat laki-laki itu meneguk minum, ia tersenyum merasa terhibur akan hal sesederhana itu.

"Ya!" panggil Brian pelan, namun masih terdengar oleh telinga Ayana walau di tengah keramaian dan kebisingan.

Ayana menatap lekat manik legam Brian, Ayana mengeratkan genggaman tangan mereka. Entah sejak kapan tangan itu sudah saling menggenggam.

"Mau dengar sebuah kisah bahagia?" tanya Brian lagi, kali ini dengan raut serius.

Ayana tersenyum, "mau."

"Pada zaman dahulu,–" Brian menghentikan ucapannya sebentar, tampak dia sedang berpikir serius, hal itu membuat Ayana semakin penasaran, seperti apa kisah bahagia menurut laki-laki itu.

"Lalu?"

"Bukan, bukan pada zaman dahulu, tetapi pada zaman yang akan datang,–" Lagi-lagi Brian menghentikan ucapannya, dia membawa tangannya yang menggenggam tangan Ayana ke dekat wajahnya. Brian mengecup punggung tangan Ayana lembut, seolah tangan itu adalah sebuah kaca yang sangat mudah pecah dan hancur.

"Ketika kita telah terikat sumpah sehidup semati. Ketika kamu akan jadi satu-satunya untukku, dan begitu sebaliknya. Ketika kisah kita sudah seutuhnya, dan kamu–" Brian kembali menggantung ucapannya, melepas genggaman tangannya, dia menarik wajah Ayana mendekatkan wajah mereka.

"Dan kamu adalah duniaku. Pemilik detak jantung ini, obat untuk sakitku. Alasan untuk senyumku. Penenang untuk dukaku dan pencipta untuk semua sukaku." Brian mengecup kening Ayana lembut, sangat lembut.

Suaranya yang sangat lembut mampu menerbangkan Ayana sangat tinggi, kalimatnya yang tulus mampu membuat jantung Ayana berdetak sangat keras. Perutnya seakan dihinggapi banyak kupu-kupu yang siap meledak kapan pun. Dan jangan lupakan rona merah di pipinya.
 
"Aku mencintaimu, gadisku."

***

Vote kakak🙏

Sejauh ini menurut kalian cerita ini gimana?

AYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang