35

950 85 8
                                    

"Minggu depan kita berangkat ke Bali."

"Apa?"

"Minggu depan kita berangkat ke Bali."

Seokjin diam, melongo. Tetapi matanya mengikuti ke mana aku bergerak di dapur, membuat sarapan yang suamiku minta saat bangun tidur.

"Nyonya Kim?"

"Kenapa?", tanyaku sambil memutar kepala, menoleh ke arahnya.

"Ke Bali? Minggu depan? Kau serius?", rentetnya.

"Kenapa? Memangnya hanya kau saja yang bisa mengajak liburan mendadak?"

"Bukan begitu maksudku. Tapi minggu depan aku ada pekerjaan. Tidak mungkin meninggalkan pekerjaan begitu saja, aku bisa terkena penalti dan teguran dari perusahaan."

"Ya sudah kalau begitu aku berlibur dengan Yoora saja."

Suamiku malah bangkit dari tempat duduknya--menghampiriku kemudian mematikan kompor dan menggandeng tanganku--membawaku duduk di konter dapur.

"Ayo kita bicarakan ini baik-baik."

"Bicara apa? Aku kan sedang membuatkanmu sarapan. Katanya lapar."

"Mengapa mengajak liburan mendadak? Kalau aku yang merencanakan, kan, aku tahu kalau kau akan selalu bisa berangkat kapanpun. Tapi kalau kau yang merencanakan begini, aku yang jadi serba salah. Karena jadwalku sudah dibuat dari jauh-jauh hari."

"Enak sekali bicaramu ya, Kim Seokjin. Kau tidak bisa begitu. Pendapatku soal perjalanan kita juga penting, meskipun aku bersyukur tidak harus kerepotan ini dan itu.", aku mendengus.

"Jadi bukan salahku kan kalau aku juga merencanakan liburan kita sendiri? Kalau urusan pekerjaan ya bukan urusanku.", lanjutku.

Aku tahu kata-kataku barusan membuat suamiku ini kesal. Terbukti dengan dia yang menahan rahangnya, juga telinganya yang merah, menahan emosi. Tapi sesekali membuat suami kesal tidak ada salahnya bukan?

Iya, ini disengaja hehehe. Aku memang merencanakan liburan kami sendiri, tetapi sudah pasti aku juga mempersiapkannya dengan baik, termasuk menanyakan jadwal Seokjin--yang tenyata ada perubahan--juga rencana membuatnya terkejut dengan pemberitahuan mendadak seperti ini. Seperti kataku pada kakak iparku satu tahun yang lalu sepulang kami dari London. Rencana balas dendam.

Sebenarnya ini hadiah kejutan untuk ulang tahun pernikahan kami yang ketiga, tapi aku tidak ingin memberikannya hanya biasa saja. Dan sepetinya rencanaku berhasil.

"Sayang, jangan begitu.", Seokjin benar-benar menjaga intonasi suaranya.

"Apanya yang jangan begitu?"

Tanganku yang sedari tadi digenggamnya dilepaskan perlahan. "Aku tidak bisa pergi begitu saja, dan aku tahu kalau semua yang kau rencanakan ini tidak mengeluarkan sedikit uang."

"Sebenarnya bukan uang yang menjadi permasalahan, tapi rencana yang tidak kau diskusikan denganku yang membuat semuanya sulit. Kenapa tidak bertanya dulu soal jadwal pekerjaanku, kenapa segalanya mendadak?"

"Ya kan aku bilang, kalau kau tidak bisa berangkat, aku akan pergi dengan Yoora, dan mungkin ditemani dengan orang tuaku.", aku bangkit dari dudukku, bermaksud kembali ke dapur tapi Seokjin menahan lenganku.

"Duduk. Kita belum selesai bicara.", kali ini nadanya terdengar tegas.

Uh-oh! Here comes the storm.

"Apa lagi? Katanya kau tidak bisa berangkat? Ya sudah, aku tinggal menelepon maskapai penerbangan dan mengganti namamu dengan nama orang tuaku, mudah."

"Kenapa kau mudah sekali berkata seperti itu? Tidak penting kah aku untukmu?", tanyanya penuh emosi.

"Bukan begitu. Aku hanya ingin membuat semuanya mudah."

"Lalu kau berlibur tanpaku? Serius? Setega itu?"

"Kau kan sibuk, aku tidak memaksamu, kok.", jawabku masih santai meskipun dalam hati jantungku berdebar kencang. Takut melihat suamiku yang marah.

"Ya sudah kalau begitu, kalian berangkat lah liburan tanpaku. Selamat bersenang-senang."

Kim Seokjin merajuk. Terbukti dengan dia meninggalkanku begitu saja, dan melangkah ke kamar.

Berhasil!

🍁🍁🍁

Februari produktif ya, bund🤭

Btw ini fast forward 1 tahun lebih ya...

AFTER MARRIAGE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang