37

895 76 5
                                    

"Kenapa Bali?"

"Kenapa baru bertanya sekarang ketika kita sudah di pesawat?", tanyaku balik.

"Ya, karena baru terlintas di kepalaku. Jadi, kenapa Bali?"

"Ya, karena aku ingin."

"Itu saja?"

"Tidak juga. Yang pertama karena aku ingin, jelas. Aku ingin sekali ke sana dari beberapa tahun yang lalu tapi belum bisa terwujud, jadi sekarang waktunya."

"Yang kedua?"

"Yang kedua, karena tadinya aku berencana kita akan ke Hokkaido. Tapi karena aku tidak bisa bermain ski juga snowboarding, maka aku mengubah destinasi."

"Curang.", Seokjin memotong.

"Curang apanya? Kan ini aku yang merencanakan, bukan kau. Aku juga tidak ingin menghabiskan waktu liburan dengan berdiam diri di kamar hotel atau duduk di kafe sementara kau asik bermain snowboarding. Lagipula ini semua uangku, jadi aku memutuskan untuk ke Bali, tempat yang aku ingin datangi."

"Tunggu, uangmu?", fokusnya langsung ke situ.

"Iya, ini uang tabunganku sendiri. Ini hadiah anniversary kita, dariku untukmu. Jadi, kau harusnya bersiap memberiku hadiah anniversary juga."

"Sungguh, Nyonya Kim?"

"Kau meragukanku? Periksa saja rekening tabunganmu kalau tidak percaya.", aku kesal. Jadi, aku memalingkan muka ke arah kursi kosong di samping jendela dan memunggungi Seokjin.

Tiba-tiba tangannya menggenggam tanganku dan mengusapnya lembut,"Bukan tidak percaya, tapi kenapa tidak pakai uangku saja. Kan kita juga pergi berdua, dan aku suamimu. Aku bertanggung jawab untuk kebahagianmu juga."

"Ya, karena aku ingin. Aku ingin pergi liburan dengan uang pribadiku."

"Baik kalau begitu. Terima kasih ya, untuk hadiahnya."

Mungkin kalau tempat duduk kami tidak terhalang meja, dia akan memelukku saat ini juga.

"Hadiahku mana?", tanyaku spontan saat berbalik menghadapnya, dengan senyum lebar.

"Ah, sepertinya aku lupa membeli hadiah."

"Malas.", langsung ku hempaskan tangannya.

"Aduh sayangku kenapa sih marah terus? Kan kita akan liburan, harusnya bersenang-senang.", godanya.

"Sebal, pelit.", kataku cemberut.

"Ey, mana ada. Istriku ingin apa? Aku belikan."

"Malas, tidak peka."

"Ya memang. Makanya katakan ingin apa biar aku belikan."

"Tidak perlu. Aku bisa beli sendiri."

"Galaknya ibu Yoora ini."

"Ah, aku rindu Yoora."

"Kan aku sudah bilang, Yoora dibawa saja, kita pergi bertiga. Tapi kau tetap bersikeras untuk pergi berdua."

Aku berbalik menghadap Seokjin, "Ya, karena kita memang perlu untuk pergi berdua. Kita perlu menghabiskan waktu berdua agar komunikasi dan hubungan kita makin baik. Bonding time."

"Ya ampun, gemasnya istriku. Bilang saja kau memang inginnya berduaan denganku, kan?", Seokjin mencubit kedua pipiku pelan.

"Memang, tapi ya aku juga tidak melupakan anakku, kok. Buktinya aku sudah merindukannya padahal baru berpisah dua jam."

"Apa kita minta ibu dan ayahmu menyusul saja, membawa Yoora?"

"Lalu kita tidak punya waktu berdua?"

"Astaga, jangan gemas gemas begitu. Aku jadi ingin menciummu."

Aku balas mencubit mulutnya dan dia malah tersenyum.

"Kita minta mereka datang setelah liburan kita berakhir, tidak sekarang.", jelasnya.

"Tapi kan kau harus bekerja minggu depan."

"Benar juga. Boleh tidak ya aku perpanjang liburan kita?"

"Sudah, jangan macam-macam. Nanti saja kalau ada kesempatan, kita bawa lagi Yoora ke Bali. Lagi pula sudah menjelang akhir tahun. Aku tidak yakin agensi mengijinkanmu menambah hari untuk berlibur. Kau dan yang lainnya pasti akan sibuk untuk berbagai acara penghargaan akhir tahun."

"Ah, benar juga. Aku lupa kalau ini sudah bulan November.", katanya seperti baru tersadar.

"Apakah kau akan menghabiskan malam tahun baru di Amerika lagi?"

"Tentu, kan aku sudah memberitahu dirimu dari jauh hari dan aku memintamu dan Yoora juga ikut, kan?"

"Boleh tidak kalau aku dan Yoora tidak ikut?"

Ekspresinya seketika berubah sendu.

"Kenapa?"

"Aku ingin bertahun baru di Korea saja, bersama keluarga kita. Lagipula kalau aku ikut pun kita tidak bisa bersama kan di malam pergantian tahun? Kau akan tampil di Time Square sampai dini hari, aku dan Yoora hanya akan berada di hotel sampai kau pulang, seperti tahun lalu."

"Sayang, maaf ya.", Seokjin kembali menggenggam tanganku erat dan mengelusnya. Wajahnya tampak bersalah.

"Tahun lalu aku benar-benar menyesal karena tidak membawamu dan Yoora ke venue. Tapi aku berpikir itu yang terbaik karena Yoora juga masih terlalu kecil, dan di sana terlalu banyak orang. Aku khawatir dia tidak bisa beristirahat."

"Ya sudah, sudah berlalu juga. Jadi, tahun ini boleh tidak aku tidak ikut?", aku menunjukkan wajah memohon.

"Tidak boleh."

"Kenapa?", aku langsung lemas mendengar jawabannya.

"Ya karena aku sudah menyiapkan tiket untuk kita semua. Termasuk orang tua kita juga.", jawabnya enteng.

"Hah?"

"Iya sama-sama, Sayang."

"Apanya yang sama-sama."

"Kau akan berterima kasih kan, padaku?"

"Serius?"

"Memangnya aku terlihat seperti pembohong?"

"Terkadang."

"Enak saja. Sudah, tidur saja. Perjalanan masih 5 jam lagi.", Seokjin bersiap menarik selimutnya saat aku masih terdiam karena terkejut dengan ucapannya."

"Kau serius? Sungguh?", rentetku.

"Ya kalau kau ingin tetap di Seoul, aku akan pergi dengan yang lain dan meninggalkanmu sendirian dengan keluarga kakakku, yang mungkin akan mengunjungi mertuanya."

"Kim Seokjin, kau menyebalkan."

🍁🍁🍁



AFTER MARRIAGE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang