14

1.6K 137 15
                                    

Semalam aku jatuh tertidur beberapa menit setelah Seokjin keluar dari kamar. Tidurku tidak nyenyak, demam menyerang tengah malam tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pertama, karena aku sendirian di kamar, beranjak dari ranjang saja rasanya tidak mampu. Kedua, aku memang tidak ingin melihat Seokjin, apalagi jika dia berada dekat denganku untuk mengurusiku. Tidak mau. Tidak ingin.

Aku merasa malas berdekatan dengan suamiku, melihatnya saja membuatku ingin menangis. Entah apa yang terjadi pada diriku. Padahal seminggu lalu sebelum Seokjin kembali, aku terlalu bersemangat menyambut hari ini, hari dia pulang dari tur. Tapi saat ia sudah kembali aku malah tidak ingin melihat serta berdekatan dengannya.

Pagi ini, masih dengan demam yang melanda dan sakit kepala yang begitu menyiksa, aku melihat suamiku terbaring di sofa kamar kami.

Sejak kapan dia tertidur di sana?

Meskipun aku sedang tidak ingin berdekatan dengannya, tapi melihatnya terbaring di sofa dengan posisi yang tidak nyaman karena tubuh tingginya membuatku merasa iba juga. Pasti badannya akan terasa pegal ketika terbangun nanti.

Kepalaku terasa pusing luar biasa saat akan beranjak dari ranjang untuk buang air kecil, tubuhku limbung dan tidak sengaja menyenggol gelas yang berada di nakas. Membuat suara kamar yang semula sunyi menjadi gaduh karena gelas yang jatuh.

"Sayang?"

Seokjin terbangun seketika dan memeriksa keadaan sekeliling. Wajahnya langsung panik saat melihatku terduduk di tepi ranjang.

"Sayang? Tetap di sana, jangan bergerak.", katanya berjalan mendekat.

"Kenapa? Ada apa? Perlu sesuatu?"

Sebenernya malas menjawab tapi aku membutuhkan bantuannya, "Aku ingin buang air kecil.", jawabku singkat.

"Ayo, aku bantu."

Aku pikir dia akan menuntunku menuju kamar mandi tapi dia malah membuatku terkejut karena tiba-tiba saja membawaku dalam gendongannya.

"Turunkan aku."

Dia tidak menghiraukan.

"Kim Seokjin, turunkan aku. Aku bisa jalan sendiri."

"Setelah limbung dan menjatuhkan gelas?", tanyanya ketika sampai di dalam kamar mandi dan mendudukkanku di toilet.

Aku cemberut.

"Mau aku tetap di sini atau bagaimana?"

"Aku bisa sendiri. Keluar."

Dan tidak seperti biasanya, suamiku langsung menurut setelah aku menyuruhnya keluar.

"Panggil aku kalau sudah selesai.", katanya sesaat sebelum menutup pintu.

🍁

Seokjin kembali membawaku dalam gendongannya saat keluar dari kamar mandi. Padahal aku sudah bisa jalan sendiri meski tertatih dan butuh waktu lama untuk mencapai pintu. Dan saat aku membukanya, suamiku sudah berdiri di sana lalu tanpa aba-aba dia langsung menggendong dan mendudukkanku kembali di ranjang. Pecahan gelas yang jatuh sudah tidak ada di sana, entah dia sendiri yang membersihkan atau meminta bantuan asisten rumah tangga kami.

"Kau masih demam, kan? Tunggu di sini. Aku buatkan sarapan, setelah itu minum obat dan istirahat lagi."

"Aku tidak mau makan makananmu."

"Lalu? Tidak mau makan? Tidak merasa kasihan pada bayi kita?"

"Aku mau makan kalau itu bukan kau yang buatkan."

"Demi Tuhan, ada apa denganmu? Kenapa seperti ini? Aku salah apa padamu?"

Bukannya menjawab aku malah menangis. Seokjin panik, tapi saat dia akan mendekat untuk memeluk, aku buru-buru memberinya peringatan. "Jangan mendekat. Jauh-jauh dariku. Aku tidak ingin kau berada di dekatku.", kataku ketus dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.

Perkataanku barusan jelas membuatnya terkejut yang amat sangat. Raut wajahnya menunjukkan patah hati yang mendalam, di tolak istri karena alasan yang tidak jelas. Beberapa detik berlalu, Seokjin balik badan, lalu berjalan ke luar kamar dengan langkah gontai meninggalkan aku sendiri di kamar.

🍁

"Eonni, tidak seharusnya kau bilang begitu padanya. Dia terlihat hancur."

Saat ini aku berada di kamar, ditemani istri Jung Hoseok yang sedang menyuapiku bubur. Sebelum aku bertanya mengapa dirinya berada di sini, dia menjelaskan terlebih dahulu padaku. Katanya Seokjin tiba-tiba menghubungi dan memintanya datang untuk membujukku makan. Aku tahu alasannya, dia tidak ingin menghubungi ibunya atau ibuku. Tidak ingin mereka tahu kalau kami sedang ada masalah. Jadi jalan terbaik adalah menghubungi istri Hoseok yang memang dekat denganku.

"Seokjin oppa menangis."

"Apa?"

"Dia menangis, eonni. Dia tidak mengerti kenapa kau seperti ini. Sebenernya ada apa?"

"Tidak ada. Aku hanya tidak ingin melihatnya. Tidak ingin berada di dekatnya."

"Apa ada sesuatu yang dia perbuat dan membuatmu jadi marah dan tidak ingin melihatnya?"

Aku menggeleng.

Dia jadi terdiam, "Apa mungkin karena kehamilanmu?"

"Ya?"

"Kau tidak ingin dia berada di dekatmu karena kehamilanmu?"

"Maksudmu?"

"Kau tidak punya alasan pasti kan tentang kebencianmu padanya? Hanya tiba-tiba benci dan tidak ingin melihatnya?"

Kepalaku naik turun, mengiyakan pertanyaannya.

"Kalau begitu benar. Sudah pasti benar. Kau seperti ini karena hormon kehamilanmu.  Dari yang pernah aku dengar, ada wanita hamil yang seperti itu. Tiba-tiba tidak ingin melihat suami dan jadi sebal padanya atau justru sebaliknya, ingin terus bersama suami seharian penuh."

"Eh?"

"Aku serius, eonni. Syukurlah kalau begitu, berarti ini bukan masalah yang serius, hanya masalah hormon dan emosimu yang sedang tidak stabil."

🍁🍁🍁


AFTER MARRIAGE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang