10

2.2K 126 21
                                    

Aku menghampiri Seokjin yang saat ini terduduk di sofa di kamar hotel kami. Setelah melakukan panggilan video, kami tidak langsung membahas masalah tersebut. Suamiku itu malah memintaku untuk segera tidur, seakan tidak terjadi apapun sebelumnya.

Kami akhirnya berbaring di ranjang dan saling berpelukan, napasnya lama kelamaan terdengar teratur meskipun aku tahu pikirannya melayang kemana-mana. Entah siapa yang terlelap terlebih dahulu, karena meskipun kami berpelukan, kami tidak memandang satu sama lain.

Dan saat aku terbangun karena rasa haus di tenggorokan, aku melihat Seokjin yang terduduk sendiri di sofa. Jarum jam menunjukkan pukul 3 dini hari.

"Kau bangun?"

"Ehm, haus."

"Aku ambilkan air ya?", tanyanya dan langsung bangkit dari sofa, berjalan menuju meja di dekat pintu masuk untuk mengambilkan segelas air sebelum aku mengiyakan.

"Ini, minum yang banyak.", katanya sambil menyerahkan segelas air kepadaku yang saat ini sudah duduk di sofa---tempatnya duduk semula.

"Terima kasih."

"Ayo kembali tidur."

Dia mengajakku kembali ke ranjang saat aku sudah selesai minum. Tapi aku malah menepuk tempat di sampingku, memintanya duduk di sana. Tak ingin berdebat, dia menurut untuk duduk.

Kami berdua hening setelahnya, tidak ada yang memulai percakapan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Aku rasa orang tua kita benar.", kataku akhirnya---setelah menyimpan gelas air di meja di samping sofa.

"Sepertinya memang tidak memungkinkan kalau aku mengikuti sampai jadwalmu selesai di Eropa nanti. Harus berpindah kota bahkan negara dalam waktu yang singkat bisa membuatku kelelahan, meskipun kehamilanku baik-baik saja. Tapi kita tidak ingin mengambil resiko, kan?"

"Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendiri. Tidak ingin."

"Aku juga tidak ingin kembali sendirian dengan penerbangan yang memakan waktu tanpa suamiku. Tapi aku juga tidak bisa egois karena hal itu. Kau memiliki tanggung jawab di sini, aku tidak ingin mempersulit keadaanmu."

"Kau juga tanggung jawabku."

Aku sedikit menghela napas, memahami kesulitannya.

"Aku tahu, sangat tahu. Aku paham rasanya ada di posisimu, karena aku ini istrimu. Aku mengerti hal ini memang tidak seperti yang kita rencanakan. Tapi, bukankah hal yang tidak kita rencanakan ini adalah hal yang sangat kita tunggu?"

Dia terdiam.

Di saat seperti ini aku harus memberikannya pengertian secara perlahan agar dia mengerti maksud ibuku dan ibunya saat kami berbicara tadi.

Setelah terdiam cukup lama dengan pandangan yang tertuju lurus ke depan, dia akhirnya menoleh ke arahku, memeluk pinggangku dan mengistirahatkan kepalanya di pundakku. Terlihat seperti anak kecil yang mencari kenyamanan dengan meringkuk di pelukan ibunya.

Mungkin bagi orang lain Seokjin terlihat berlebihan hanya karena masalah kepulanganku, tapi dia memang seperti itu. Kim Seokjin begitu posesif terhadap istrinya, apalagi saat ini aku sedang mengandung. Dia tentu saja berada dalam dilema yang besar. Tidak ingin aku kembali sendirian ke Seoul tapi dia juga tidak bisa meninggalkan konsernya begitu saja, tidak ingin penggemarnya kecewa.

"Jadi, ijinkan aku kembali ke Seoul?", tanyaku lembut.

Dia menggangguk ragu, "Tapi tidak sendiri.", jawabnya kemudian.

"Hm?"

"Aku akan meminta seorang staff menemanimu. Setidaknya agar aku tahu kau aman sampai di rumah."

"Bukannya mereka semua sibuk? Jangan merepotkan orang lain. Aku bisa sendi---"

"Kalau sendiri aku tidak akan mengijinkan."

"Baik, baik. Aku pulang dengan seorang staff. Tapi pastikan kau meminta izin terlebih dahulu pada manajer atau Bang PD-nim sekalian."

"Akan ku pastikan itu."

"Oke, kalau begitu ayo kembali tidur. Kau ada rehearsal kan siang nanti?"

"Biarkan aku begini sebentar saja, aku ingin memeluk istriku seperti ini lebih lama, sebelum kau pulang.", dia mengeratkan pelukannya, tubuhnya makin meringkuk dan melekat padaku. Kali ini kepalanya tenggelam di leherku, hidungnya sibuk menghirup di sana.

"Aku pasti akan merindukan istriku yang cantik ini.", katanya sedih.

"Aku juga, tapi ini hanya dua bulan. Setelahnya kau akan bertemu lagi denganku."

"Dua bulan itu lama, sayang. Aku mungkin akan menangis karena merindukanmu."

Aku terkekeh kecil.

Bukannya aku yang harusnya seperti itu? Menangis ketika merindukannya nanti tapi hanya bisa berkomunikasi dan bertatap muka melalui panggilan video?

"Kau akan jadi seorang ayah, jadi tidak boleh cengeng."

"Ah, benar. Apakah aku bisa jadi ayah yang baik?", tangannya mengelus perutku

"Aku yakin kau bisa, Kim Seokjin.", kecupan ringan aku layangkan di puncak kepalanya.

"Aku takut yang terjadi justru sebaliknya."

Baru kali ini aku mendengar suamiku begitu pesimis.

"Lihat aku.", Setelah pandangan kami bertemu, aku berkata lagi. "Dengar, kau akan jadi ayah yang baik. Kita akan jadi orang tua yang baik untuknya, kelak. Jadi jangan terdengar pesimis seperti itu. Rasanya seperti bukan Kim Seokjin."

"Ya, kita akan jadi orang tua yang baik untuk anak-anak kita nanti.", katanya yakin, kali ini.

Ah, Kim Seokjinku yang percaya diri kembali.

"Tumbuh dengan baik di perut ibu ya, kesayangan ayah. Entah terlahir dengan jenis kelamin apapun, ayah berharap kau lahir dengan sehat dan sempurna. Ayah dan ibu akan selalu menunggu sampai waktunya tiba, kau terlahir di dunia.", tangan Seokjin sibuk mengelus perutku yang masih rata dan memberi kecupan berkali-kali di sana.

Saat ini, di pagi hari yang masih gelap, aku benar-benar tidak bisa menahan tangisku, sekali lagi. Tangis bahagia atas hadirnya buah cinta kami.

🍁🍁🍁

Aku tau ini telat banget, udah lewat tengah malam. Tapi lebih baik telat daripada enggak kan? 😅
Kayanya bakal slow update setelah ini, jadi jangan terlalu berharap ya hahaha

Kasih komentar di sini biar aku tau gimana excitednya kalian sama cerita ini, juga biar aku dapet booster buat nulis dan lanjutin ceritanya.

AFTER MARRIAGE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang