53

373 47 2
                                    

Setelah kemarin melakukan serangkaian tes di rumah sakit, pagi ini hasil tesnya keluar melalui e-mail. Sengaja aku sertakan alamat e-mail Seokjin, agar dia dulu yang tahu hasilnya. Tapi aku yakin 100% kalau aku hamil.

Pagi ini sedikit dingin, pergantian musim gugur ke musim dingin. Seokjin masih terlelap mendekapku erat. Semalam kami tertidur agak larut karena terlalu asyik menonton serial di Netflix. Hari ini pun Seokjin tidak punya jadwal pekerjaan, jadi mungkin akan aku biarkan dia tidur sampai agak siang.

Yoora juga sepertinya masih terlelap, karena kalau dia bangun pasti pintu kamar kami sudah diketuknya berulang kali sampai dibuka.

Ponsel Seokjin berdenting, ada notifikasi masuk tapi aku hiraukan. Mungkin saja bukan sesuatu yang aku tunggu sedari tadi. Lagipula aku menghargai privasi Seokjin dengan tidak sembarangan membuka ponselnya. Begitupun Seokjin padaku.

Setengah jam berlalu, Seokjin mengerjap. Keadaan kamar masih gelap karena gorden belum dibuka. "Sudah bangun? Dari tadi?", suaranya serak khas bangun tidur.

"Tidak begitu lama.", jawabku.

Bukannya membuka mata dan bangun, dia malah memejamkan matanya kembali dan memelukku lebih erat. Sepertinya malas beranjak karena terlalu nyaman di kasur.

"Mau sarapan?, tanyaku akhirnya.

"Jam berapa ini? Yoora belum bangun ya?"

"Sudah jam 10 pagi. Sepertinya dia masih tidur nyenyak."

"Lima belas menit lagi kalau begitu, ya. Siapkan sarapan setelah lima belas menit lagi aku memelukmu.", Seokjin memelukku makin erat.

🍁

"SAYANG... SAYANG..."

Suara Kim Seokjin menggelegar terdengar sampai ke dapur, padahal kemungkinan dia masih di kamar. Beberapa detik kemudian terdengar suara langkah mendekat. Bukan suara langkah pelan, melainkan suara langkah kaki tergesa-gesa.

"Ada apa sih, astaga. Kenapa berteriak seperti itu?"

"INI APA?", tanyanya sambil menyodorkan layar ponselnya padaku.

Aku tahu itu apa, tetapi aku pura-pura bodoh. "Apa memangnya?"

"KAU HAMIL? SERIUS? SECEPAT INI?", Kim Seokjin terlalu bersemangat.

"Memang begitu tulisannya? Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, karena tidak memakai kacamata atau lensa kontak."

"Sayang, sungguh?"

Padahal aku belum meng-iyakan, tetapi suamiku itu langsung membawaku kedalam pelukannya. Dia tak berhenti mengecup puncak kepalaku sambil menggumamkan terima kasih terus menerus.

"Kau hamil? Berapa minggu?", tanyanya lagi sambil menyamankan pelukannya dan mengusap-usap punggungku. Yang kudengar, suaranya sedikit bergetar.

"Kan kau yang dapat hasilnya, aku belum tahu. Coba baca kembali."

"Sebentar.", katanya sambil melepas satu tangannya. Seperti tidak rela melepaskan pelukan kami.

"Empat minggu? Berarti baru satu bulan?", lanjut Seokjin.

"Ayo duduk dulu, kenapa gemetar?, tanyaku sambil terkekeh.

Seokjin menggeleng, ponselnya dia letakkan sembarangan. Pelukannya makin erat tapi juga hati-hati. Iseng, ku goyangkan badan kami ke kiri dan kanan agar dia lebih santai.

"Terima kasih ya, Sayang. Terima kasih karena kau sudah mengizinkan aku untuk menjadi ayah dari dua orang anak. Terima kasih sekali lagi.", kata Seokjin tulus, diakhiri dengan mengecup puncak kepalaku.

"Sama-sama. Semoga dia juga tumbuh dengan baik ya di dalam sini.", aku juga balas mengecup pundaknya.

"Setelah ini semoga ada yang ketiga, keempat, dan seterusnya ya?"

Jawabanku adalah mendongak dan memberikannya tatapan membunuh, tetapi suamiku malah membalasnya dengan senyuman yang terlalu manis.

"Bercanda. Tapi kalau diizinkan ya, aku tidak masalah, sih.", ucap Seokjin santai. Dia kembali membenamkan kepalaku ke dalam pelukannya. Kali ini ganti dia yang menggoyangkan badan kami ke kanan dan kiri.


"Ayah dan Ibu sedang apa?"

🍁🍁🍁

AFTER MARRIAGE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang