34

876 79 7
                                    

"Sayang, aku mau juga."

Aku melirik kepada Seokjin, dari kegiatanku menggunting kuku Yoora--yang duduk di pangkuan.

"Apa?", tanyaku memastikan.

"Guntingkan kuku ku juga."

"Astaga. Lihat ayahmu, Sayang. Menggunting kuku saja malas.", aku kembali pada kegiatanku sebelumnya.

"Lebih enak kalau diguntingkan.", katanya yang kemudian ikut duduk di sebelah kami. Dia tersenyum lebar dan memandangku yang sedang serius.

"Yoora kenapa tidak seperti anak lain, yang kalau kukunya digunting tidak mau diam, ya?"

"Itu karena aku memberinya snack.", kataku sambil menunjuk snack di tangan kiri Yoora yang sepertinya baru disadari Seokjin.

"Pantas saja dia tenang.", Seokjin mengusak kepala putrinya lembut.

"Seperti ayahnya kan, yang setiap diberi makanan langsung berhenti mengoceh dan duduk dengan tenang."

Dia mengerling dan tersenyum, "Memang anak ayah sekali, Yoora ini."

"Sudah.", kataku bersemangat karena akhirnya kegiatan yang menguras tenaga ini selesai.

"Giliranku.", Seokjin bersemangat.

"Sebenarnya aku malas, kenapa tidak ke salon saja dan mendapat perawatan di sana."

"Aku malas berbasa basi dengan pegawainya. Malas ke sana sendiri juga. Kau pasti tidak mau ikut karena minggu lalu sudah ke sana, kan?", jawabnya panjang lebar.

"Intinya memang Kim Seokjin malas."

Kekehan terdengar dari mulutnya, "Ya memang. Sudah lah, ayo."

Seokjin menggeser Yoora dari pangkuanku, kemudian merebahkan tubuhnya di depanku dengan kepala yang bersandar pada pahaku.

"Kok seperti ini? Kasihan Yoora. Lihat, kau jahat sekali pada anakmu.", aku mendramatisir padahal anak kami masih sibuk dengan camilan, tidak peduli dipindahkan dari pangkuanku oleh ayahnya.

"Dia diam saja, kok. Lagipula aku akan membawanya untuk duduk diatas perutku selagi kau menggunting kuku.", dan Seokjin memang melalukannya setelah posisinya nyaman.

Dasar Kim Seokjin.

Aku mulai mengambil tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang punggung Yoora. Menjaga dan memastikan anaknya tidak akan terjatuh dari perutnya.

"Kenapa panjang-panjang sekali, sih.", omelku saat melihat kuku di jari tangan kanannya.

"Aku tidak mengguntingnya lebih dari 2 minggu."

"Dasar malas."

Seokjin hanya terkekeh kecil. Yoora terlihat mengantuk meskipun setengah camilan masih digenggamnya, jadi Seokjin menekuk kakinya dan menyandarkan Yoora di sana, sambil menggoyang kakinya pelan, ke kanan-kiri.

"Tangannya belum dibersihkan.", kataku bermaksud bangkit tapi Seokjin buru-buru menahannya.

"Biarkan saja. Nanti kalau dia sudah pulas, baru kita bersihkan tangan dan mulutnya."

Hening beberapa saat. Aku fokus pada jari tangan Seokjin, sedangkan suamiku fokus pada Yoora yang semakin tidak sanggup menahan kelopak matanya tetap terbuka.

"Kalau Yoora punya adik bagaimana?", Seokjin bersuara tiba-tiba."

"Hah?"

"Iya, kalau kau hamil lagi bagaimana?"

"Aku rasa belum saatnya."

"Kenapa?"

"Anak kita masih 8 bulan, Kim Seokjin. Aku tidak ingin dia kekurangan kasih sayang. Terlebih dia juga masih harus mendapatkan asi sampai usia 2 tahun. Aku tidak mau kalau aku harus berhenti memberinya sebelum waktu yang seharusnya."

"Aku kan hanya bertanya. Jawabanmu panjang sekali."

"Ya karena itu komitmen kita dari awal, bukan? Kita tidak berencana memiliki anak lagi dalam waktu dekat."

"Ya ampun, Sayang. Iya, iya, sudah. Kasus selesai. Aku menyerah. Padahal aku kan hanya bertanya. Menggodamu saja, jangan marah."

"Tidak marah kok, hanya kau bertanya tiba-tiba, aku pikir serius."

"Tidak, aku juga tidak mau Yoora tidak dapat yang terbaik. Dia harus mendapatkan yang terbaik, tentu saja."

Dan aku menangis. Air mataku jatuh menetes pada pipi Seokjin. Entahlah, perasaanku campur aduk antara kesal, sedih dan juga perasaan lainnya.

"Hei, hei, kenapa menangis?"

Seokjin membawa Yoora kedalam pelukannya kemudian dia bangkit untuk duduk. Memutar tubuhnya menghadapku dan memelukku, dengan Yoora berada di pelukannya.

"Kenapa malah menangis? Aku salah ya? Maafkan aku, istriku.", dia mengusap punggungku dan menepuknya pelan, berulang kali. Aku makin sesegukan dibuatnya.

"Kenapa? PMS, ya? Sudah waktunya, kan?"

Dan sepertinya suamiku benar. Melihat dari perasaanku yang tiba-tiba menjadi tidak karuan padahal dia hanya bertanya. Bagaimana suamiku lebih memahami jadwalnya dibanding aku sendiri?

🍁🍁🍁

Kalian bisa ngebayangin nggak posisi duduk mereka? Aku gemes sendiri bayangin Seokjin duduk begitu sama anak dan istrinya😍

AFTER MARRIAGE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang