24

1.2K 100 1
                                    

"Ayo bawa Yoora ke London."

"Pardon?", tanyaku memastikan aku tidak salah dengar. Pasalnya aku sedang sibuk mengurusi putri kami yang baru saja mandi pagi.

"Ayo kita berlibur kembali ke London. Bertiga bersama Yoora juga. Seperti janjiku waktu itu.", katanya yang saat ini sedang duduk di ranjang di samping putri kecilnya yang sesekali tertawa karena digoda ayahnya.

"Tidak salah? Anakmu baru 5 bulan dan kau ingin mengajaknya bepergian jauh?"

"Justru karena dia belum mulai makan, kita jadi tidak terlalu repot untuk membawanya bepergian jauh."

"Jangan bilang kau sudah menyiapkan segalanya? Tidak, kan? Belum, kan?"

Jangan lagi. Semoga tidak lagi terjadi seperti waktu itu. Kim Seokjin yang memutuskan membawaku pergi berlibur tanpa sepengetahuanku.

Dia malah terkekeh, membuatku makin curiga.

"Hehehe belum. Aku baru berencana. Aku akan persiapkan semuanya kalau kau sudah setuju."

"Yang benar?", tanyaku skeptis pada suamiku ini.

"Iya, benar kok. Jadi bagaimana? Mau ya?"

"Kita harus bertanya dulu pada dokter, apakah aman membawanya bepergian jauh begitu."

"Itu-- sebenarnya aku sudah bertanya pada dokter Oh kemarin. Dan menurutnya tidak apa-apa selama dia sehat."

Aku meliriknya penuh curiga.

"Serius. Katanya yang penting saat take off dan landing beri saja dia asi, dan pakaikan dia earmuff."

"Kau benar-benar sudah merencanakan semuanya kan, seperti waktu itu?"

Bukannya menjawab dia malah tersenyum, senyum yang menyebalkan menurutku.

"Kapan?"

"Kapan apanya?"

"Jangan pura-pura tidak tahu.", kataku sedikit kesal.

"Dua minggu lagi."

"Hah?"

"Dua minggu lagi.", dia mengulang.

"Aku dengar. Hanya tidak percaya kau selalu seperti ini setiap membawa aku pergi berlibur. Kenapa tidak berdiskusi dulu sih denganku?", kali ini aku benar-benar kesal.

"Kejutan. Kau tidak suka ya?", suaranya terdengar bersalah.

"Tidak, bukannya aku tidak suka. Tapi kan kita bisa berdiskusi berdua kalau ingin pergi berlibur begini. Apalagi membawa bayi. Kim Seokjin, kau benar-benar."

Aku menggedong Yoora yang sudah selesai dipakaikan pakaian, kemudian berjalan ke kamar mandi untuk menyimpan handuk, meninggalkan Seokjin sendirian.

Tak ku duga dia malah mengikuti di belakang.

"Sayang..."

Aku diam saja.

"Sayang, jangan begini. Bicara padaku. Kalau kau tidak setuju, akan aku batalkan rencana ini."

Aku duduk di sofa menyusui, sambil memangku si kecil yang saat ini sudah sedikit merengek meminta diberi asi.

"Bangun, sedang apa duduk di situ?.", kataku pada Seokjin yang malah duduk di bawah, di dekat kakiku, memandang aku dan putrinya. Padahal di dekat situ ada sofa yang kosong.

"Kau marah?"

"Tidak."

"Iya kau marah. Aku tahu."

"Aku tidak marah, hanya kesal."

"Ya sudah kalau begitu aku batalkan saja ya rencananya? Asal kau janji tidak kesal lagi padaku."

Aku menghela napas, mengatur emosiku yang mungkin kalau suamiku memaksa, bisa naik sampai ubun-ubun. Tapi melihat dia yang mau mengalah membuatku tidak tega.

"Dua minggu lagi memang jadwalmu kosong?"

Dia mengangguk takut-takut.

"Dua minggu lagi jadwalmu kosong dan aku tidak tahu? Aku istrimu atau bukan sih?"

"Sayang, jangan marah marah seperti itu, kasihan nanti Yoora tidak bisa tidur."

Yoora memang terlihat sudah mulai mengantuk di pangkuanku.

"Ya habisnya, aku seperti orang lain saja untukmu. Jadwalmu aku tidak tahu, akan pergi liburan juga tidak tahu."

Seokjin memperbaiki duduknya, kali ini berhadapan denganku, memegang lututku.

"Bukan begitu, aku kan hanya ingin membuat kejutan untukmu. Jangan marah-marah seperti itu padaku. Aku tidak mau bertengkar.", wajahnya memelas.

"Kalau dua minggu lagi kita berangkat memangnya semua dokumen putrimu sudah lengkap? Paspor? Visa?"

"Kalau Sejin hyung yang mengurus, semuanya bisa selesai dalam 1 minggu."

"Hhhh.", kembali ku hela napas.

Sejin oppa memang selalu bisa diandalkan.

"Tidak apa. Aku batalkan saja daripada membuatmu marah padaku. Nanti aku malah tidak boleh tidur di kamar."

Ya ampun, kenapa suamiku jadi begitu menggemaskan begini sih.

Aku bukannya tidak mau diajak berlibur, tapi kebiasaannya yang spontan begini membuatku kesal.

"Ya sudah kalau begitu, kita berangkat dua minggu lagi."

"Ya sudah.", katanya lemas. Sepertinya dia tidak menyadari aku berkata apa barusan.

"Eh? Apa? Kau bilang apa tadi?", tanyanya beberapa detik kemudian. Matanya melebar seakan tidak percaya.

"Apa? Aku tidak bilang apapun."

Seokjin bangkit berdiri, tangannya lalu diletakkan di sofa, di samping kepalaku. Tubuhnya yang menjulang mengungkungku di sofa.

"Dua minggu lagi, ya?", matanya berbinar.

Ya ampun Kim Seokjin, istrimu ini gemas sekali melihatmu yang seperti ini.

"I-iya.", kataku terbata. Entah mengapa jantungku berdebar kencang sekali diperlakukan seperti ini olehnya.

Tiba-tiba saja satu kecupan mendarat di bibir, "Yes! Baiklah, dua minggu lagi kita berlibur. Bertiga. Terima kasih, Sayang."

Kali ini bertubi-tubi kecupan yang mendarat. Bukan hanya di bibir, tetapi juga di pipi, dahi, serta hidung.

🍁🍁🍁

AFTER MARRIAGE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang