Aku terbangun karena rasa mual yang menyerang tiba-tiba saat tidur, segera ku berlari ke arah kamar mandi dan berjongkok di depan toilet. Tapi tidak ada sedikitpun yang keluar dari mulutku, hanya rasa mual dan pahit di pangkal tenggorokan. Aku bangkit, kemudian berjalan ke arah wastafel untuk membasuh wajah dan melihat pantulan diri yang mengenaskan di cermin. Pucat dengan kantung mata yang sedikit menghitam.
Ini sudah hari ketiga semenjak aku kembali dari Amerika dan saat ini aku sedang berada di rumah orang tua seokjin, mertuaku. Ini hari ketiga juga aku terbangun karena mual yang tiba-tiba dan tidak tahu waktu, juga sendirian. Memang ada mertuaku dan juga asisten rumah tangga di sini, tapi tetap saja aku seorang diri di kamar. Rasanya menyedihkan.
Tidak lama, terdengar ponselku berdering. Entah siapa yang menghubungiku di pagi buta seperti ini, seperti tidak ada waktu lain. Aku berjalan ke luar kamar mandi dengan langkah gontai. Badanku terasa lemas, seperti kehilangan tulang dan tenaga.
Sedikit berdecak, ku ambil ponsel yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Nama Seokjin terpampang di sana.
Entah dia bisa bertelepati atau bagaimana, pasalnya setiap aku terbangun karena mual, menit berikutnya dia selalu menghubungiku. Dan ini sudah hari ketiga dia seperti ini.
"Sayang, baik-baik saja?"
"Ehm.", jawabku. Tetapi suaraku terdengar sebaliknya.
"Kau terbangun lagi ya, karena mual?"
Iya, entah bagaimana suamiku itu bisa tahu kalau aku sedang dalam keadaan tidak baik.
"Tidak. Aku tidak apa kok."
Tapi tiba-tiba rasa mual kembali datang dan membuatku berlari kembali ke kamar mandi. Mungkin ini akibatnya kalau berbohong pada suami.
Meletakan ponsel dalam genggaman di lantai, aku kembali berjongkok di depan toilet. Benar-benar tidak memperdulikan Kim Seokjin yang memanggil-manggil namaku sedari tadi. Pikiranku terdistraksi dengan rasa mual yang tidak tertahan meskipun tidak ada sesuatu yang keluar dari dalam sana.
Aku bangkit, mengambil ponsel dan berjalan ke wastafel untuk membasuh mulutku kemudian menyalakan speaker ponsel.
"Sayang, kau baik-baik saja? Sayang jawab aku."
"Iya, aku baik-baik saja, kok. Tidak perlu khawatir."
"Bagaimana aku bisa tidak khawatir, kau selalu terbangun dengan rasa mual, kau kesulitan untuk makan, wajahmu terlihat lebih tirus padahal baru tiga hari kita tidak bertemu. Bagaimana aku bisa tidak khawatir melihat kondisimu?"
"Dari mana kau tahu aku tidak bisa makan?"
"Ibu."
Satu kata dari Seokjin menjelaskan segalanya. Padahal aku sudah meminta tolong mertuaku untuk tidak bilang pada Seokjin bahwa aku kesulitan untuk makan, bahkan mencium harum makanan saja sudah membuat perutku bergejolak. Tapi sepertinya suamiku itu memaksa ibunya untuk bercerita tentang apa yang aku alami.
"Kenapa tidak makan? Anak kita butuh asupan makanan bergizi."
"Andai aku bisa, aku pasti akan makan. Tapi aku tidak bisa. Harum masakan membuatku mual, Kim Seokjin.", aku mengatakannya dengan sedikit air mata yang menggenang. Aku menjadi sedikit lebih sensitif setelah tahu kalau aku sedang hamil.
"Aku jadi ingin pulang dan memelukmu."
"Aku tidak apa kok, ini hal yang wajar kata dokter. Jadi jangan khawatir, oke?"
"Baik, tapi kalau butuh atau menginginkan sesuatu, bilang pada ibu, ya? Jangan merasa sungkan."
"Iya, baik. Eommonim sudah merawatku dengan baik, kok. Aku bersyukur memiliki ibu mertua sepertinya."
"Aku akan bilang pada ibu untuk mengantarmu ke dokter hari ini."
"Huh? Ke dokter? Untuk apa? Aku baik-baik saja."
"Untuk konsultasi mengenai mualmu, agar kau dapat obat dan bisa kembali makan. Aku tidak ingin melihat istriku tersiksa karena perbuatanku."
"Perbuatanmu?"
"Eum. Perbuatanku yang menanam benih di rahimmu."
"Ya! Kim Seokjin! Mesum!"
Terdengar suara tawanya menggelegar. Tawanya membantu moodku kembali baik. Seperti sebuah keajaiban, rasa mualku selalu hilang saat Seokjin menghubungi.
"Sudah makan malam? Bagaimana konser kalian hari ini?"
"Belum, aku masih di venue. Hari ini konser kami di guyur hujan ringan saat encore."
"Kau basah kuyup? Kedinginan tidak? Sudah berganti pakaian?"
"Istriku cerewet sekali, hari ini.", jawabnya diiringi kekehan.
"Aku serius, tidak ingin kau terkena flu."
"Iya-iya, aku sudah berganti pakaian kok. Jangan khawatir. Kami juga akan langsung makan malam setelah ini. Kami akan makan di restoran Korea. Kau tahu, aku rindu rumah dan rindu masakanmu."
"Aku juga rindu. Satu bulan lagi, ya?"
"Eum, satu bulan lagi dan kita akan bertemu. Omong-omong flight-ku ke London dimajukan menjadi besok sore."
Ah, London.
Padahal, saat aku tahu akan menemani Seokjin untuk konser di sana, aku sudah memikirkan banyak hal yang akan aku lakukan, juga tempat mana saja yang akan aku kunjungi. Kalau boleh jujur, aku sedikit kecewa karena rencanaku gagal. Tapi aku kembali teringat kalau ini yang terbaik untukku dan calon anak kami.
"Melamun, ya?"
"Eh?"
"Sedari tadi aku memanggilmu. Kenapa? Teringat London?"
Kim Seokjin yang selalu peka.
"Tidak, kok."
"Tidak apa, aku mengerti. Lain kali kita kembali lagi ya, ke sana. Bertiga. Aku, kau dan anak kita. Kita wujudkan segala yang kau rencanakan di sana."
"Sungguh?"
"Iya, sungguh. Aku janji. Aku akan membawamu dan anak kita untuk kembali mengunjungi London. Atau kalau perlu setelah konser ini selesai, kita berdua berangkat ke sana."
"Kim Seokjin, aku ingin menciummu kalau kau ada di sini, kau tahu."
Seokjin terkekeh. Tidak biasanya aku begini padanya.
"Satu bulan lagi. Satu bulan lagi dan kau bebas menciumiku sampai bibirku bengkak seperti tersengat lebah."
🍁🍁🍁
Jujur, aku kehilangan mood menulis. Ditambah dengan waktu luang yang sedikit bikin aku kesulitan.
Maaf untuk menunggu lama. Semoga ini bisa mengobati rindu dan kekecewaan kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER MARRIAGE
FanfictionKehidupan Kim Seokjin setelah menikah. Random story. Based on kehaluan setiap hari. [Never Ending Story]