XXXIX

16.6K 1.8K 60
                                    

           Rose menggerakkan kaki ke atas sementara tangan kanannya menjepit tiang di dalam siku. Gips di tangan kirinya tidak menghambat Rose untuk bergerak lentur memutar di tiang dan melekukkan punggungnya ke belakang. Kali ini kedua kaki Rose lebih banyak ambil peran menopang diri di tiang daripada tangan karena sedang cedera.

          Terapi Rose untuk lari dari kenyataan; pole dancing. Tidak ada yang tahu Rose melakukan olahraga ini. Rose bahkan menyewa sebuah studio dan pelatih khusus untuknya karena hanya dengan menari tiang Rose tidak memikirkan hidupnya. Mungkin lebih tepat—tidak ada waktu. Tiang yang dipasang dari lantai sampai atap itu menyita pikiran dan fokus Rose untuk melatih kekuatan otot dalam sampai kelenturan tubuhnya.

          Rose tahu banyak yang mengira bahwa konotasi menari tiang tidak sebaik olahraga lain seperti tennis, golf, basket, atau berkuda. Mungkin juga segelintir orang tidak menganggap menari tiang sebagai olahraga melainkan hal yang tabu. Tetapi bagi Rose, melakukan akrobat di ketinggian tiga meter dan bebas bergerak semaunya adalah sebuah kebebasan.

          Kepala di bawah dan kaki yang menyilang di atas kelihatannya sangat berbahaya. Namun itu menyenangkan dan tidak ada yang melarang Rose melakukannya. Menari akrobat di tiang membuat Rose merasa lepas.

          "Rose, hati-hati tanganmu!"

         Mireille Leswara, personal trainer Rose, memperingatkan dari bawah. Wanita itu tampak cantik dengan lekuk tubuh impian perempuan dan kadang Rose bingung bagaimana tubuh Mireille tetap bagus setelah melahirkan ketiga anaknya.

          "Millie, kamu sudah lebih dari sepuluh kali mengatakan itu. Patah tulang ini bukan masalah," kata Rose yang sedang melakukan gerak flat line.

          "Masalahnya kamu memaksa, Rose. Aku sudah bilang ini riskan sekali tetapi sepertinya kamu sedang ingin sekali menari," Mireille terdiam sebentar lalu bertanya, "Kenapa, Rose?"

          "Kenapa, apa, Millie?"

          Mireille berdecak karena Rose tampak hanya mempedulikan tiangnya. "Biasanya kalau kamu menari penuh semangat seperti ini, you've been through something. Raeden memukul lagi?"

          "Raeden di Labuan Bajo, Millie."

          "Oh, atau kamu hamil?" tanya Mireille sangsi.

          Rose tertawa. Ia berhenti berputar di tiang lalu turun perlahan-lahan. Mireille menghampirinya untuk memberikan air mineral.

          "Kamu terlalu banyak nonton sinetron, Millie. Aku tidak hamil, jangan aneh-aneh."

          "That's a guess! Muka kamu lebih kusut daripada linen di rumahku yang belum disetrika. Jelas saja aku langsung menebak seperti itu," Mireille membela diri.

           "It's just a tough week, I guess. I just really need an escape," kata Rose dan menghela napas.

          "Ya sampai kamu memaksaku untuk buka studio jam sembilan malam. You look like a mess and in need of escape, indeed. Let me buy you a drink." Mireille tersenyum hangat lalu menyinggung pundaknya kepada Rose.

          Rose tersenyum dan menyetujui Mireille. Mereka pergi ke bar yang tidak jauh dari studio setelah Rose membersihkan diri. Ketika mereka sampai, bar belum begitu ramai karena sebenarnya masih terlalu siang untuk pergi ke sana.

          "Macallan 18, neat," Rose memesan minumnya kepada bartender.

         "Scotch? Good choice," ucap Mireille terkejut dan tersenyum lebar.

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang